Minggu, 09 Januari 2011

Bruak! Ini pukulan ketujuh yang kusarangkan di dinding flat-ku. Aku nggak tahu kenapa aku harus marah saat itu. Tapi aku memang cemburu. Aku nggak suka perempuanku disakiti seperti itu...
***

“Kak...” aku mendengarnya mengerang pelan di atas ranjangku. Matanya masih terkatup rapat, sementara tubuh mungilnya yang dingin masih meringkuk beku.
“Iya sayang, kakak disini...” secepat kilat aku menghampirinya di sisi ranjang, membiarkannya menggenggam erat tanganku, sambil mendekapnya di dadanya. “Kakak disini, kakak nggak kemana mana...” kataku sambil berusaha menahan kemarahanku. Pelan, aku membelai wajah cantiknya. Bekas memar itu masih jelas terpeta disana. Juga beberapa robekan yang kubersihkan seadanya.
“Kakak jangan pergi... Mmmh... Kak...” perempuan kecilku mengigau lagi. Aku tahu pasti, ini teror yang sama seperti yang sering dialaminya dalam malam malam terkelamnya. Dengan lembut dan hati hati aku kecup pipinya. Aku nggak ingin menyakitinya lagi seperti tadi.

“Nggak, kakak nggak kemana mana. Kakak disini. Sudah, kamu tidur yang tenang ya. Kakak yang bakal jagain kamu malam ini. Kamu nggak perlu takut apa apa lagi...” air mataku hampir tumpah saat aku mengatakannya. Kakak yang bakal jaga kamu malam ini. Kamu nggak perlu takut apa apa lagi...

Bruak! Aku kembali menghujamkan tinjuku di tempat yang sama. Aku benar benar merasa bodoh saat ini. Aku benar benar merasa nggak berguna. Bahkan untuk melindungi perempuan kecilku saja aku nggak mampu. Berapa kali dia datang tengah malam ke apartemenku dengan masalah yang sama. Dengan air mata dan luka yang sama. Dan apa yang bisa aku lakukan buat dia?! Membalut lukanya dan membiarkannya berlindung dalam pelukanku. Dengan kondisi tubuh penuh luka...
***

Aku sedang sibuk dengan pekerjaan kantorku, tabel tabel dan diagram diagram warna warni saat aku mendengar ketukan pelan di pintu flat-ku. Aku jarang kedatangan tamu, jadi aku hampir bisa memastikan kalau perempuanku yang saat ini berdiri di balik pintu. Apalagi perasaan nggak enak yang melandaku sejak tadi sore ikut menguatkan keyakinanku. Segera aku melompat ke pintu, dan membukanya untuk perempuanku. Tapi apa yang kutemui disana benar benar mengagetkanku.

Perempuanku, dengan wajah memar dan bibir berdarah, hampir tersungkur ketika aku membuka pintu untuknya. Matanya yang sembab dan isakan tangisnya yang tertahan sudah lebih dari cukup untuk memberi tahuku apa yang terjadi padanya. Saat ini aku nggak butuh kata kata.

“Masuk.” hanya itu kata yang terlontar dari bibirku saat itu. Tanpa bicara, aku membantunya berbaring di sofa panjang dan menyiapkan perlengkapan P3K-ku. Pendarahannya harus segera berhenti saat itu. Juga air mata dan isakan tangisnya.
“Papa mukul aku lagi...” katanya disela isakan tangisnya. “Papa marah...” perempuanku semakin terluka. Aku diam. hanya tanganku yang dengan cekatan membantunya melepas pakaian dan menggantinya dengan kaos dan celana pendek dari dalam lemari pakaianku.

“Papa...” katanya. “Aku nggak mau sama dia. Aku nggak bisa. Kak!” perempuanku berteriak histeris. Air mataku makin banyak tergenang. Aku hanya bisa membiarkannya bergelung dalam pelukanku hingga nafasnya kembali berirama. “Kakak nggak boleh tinggalin aku. Kakak nggak boleh pergi. Aku mau sama kakak disini...” isakannya makin keras. Aku masih diam. Pelan, jemariku menyusur gelombang rambutnya yang terurai liar dibelakang punggungnya.

Diam.
diam.
diam.
lama.
Perempuanku terasa semakin tenang dalam pelukanku. Dengan hati hati aku memindahkannya ke kamar, ke atas ranjang empuk dan hangat yang akan ganti menjaganya malam ini. Aku harus keluar menenangkan diri...
***

“Kak...” katanya begitu aku merebahkannya di ranjangku. “Kakak jangan pergi... Aku nggak mau sendiri...” mata sendunya menghujam langsung ke manik mataku. “Aku mau kakak sekarang. Disini...” katanya sambil menarikku lebih dalam ke pelukannya. “Kakak selalu hangat dan wangi. Aku suka...”

Aku membiarkannya menjelajahi tubuh setengah telanjangku dengan jari jari mungilnya. Nafasnya yang hangat dan cepat terasa memburu di dadaku. Lengannya yang lembut terasa semakin mengundang ketika dengan erat dilingkarkannya kedua lengan itu ke tengkukku.

“Mmmh, sakit kak...” perempuanku mengaduh pelan saat aku membenamkan puncak dadanya di mulutku. Aku berhenti sejanak, lalu menatap matanya yang masih memandangku sendu. Aku tersenyum tipis, lalu mulai menjelajahi wajahnya dengan bibirku. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, telinganya yang hangat, dan bibirnya yang lembut.

“Mmh... Mmh... Mmmmh...” kedua lidah kami masih beradu saat dengan cepat jemari lentiknya memaksaku melepas kemeja hijau tua yang sejak tadi membalut tubuhku.

“Sayang, kamu nggak harus ngelakuin ini kalo kamu nggak mau...” aku berusaha menjauhkan tubuhku dari jangkauannya. “Aku akan tetep ada buat kamu kapanpun kamu mau. Aku nggak ingin ini dari kamu...” aku membelai lembut wajah sendunya. “Kamu tau kan aku sayang sama kamu...”

Diam.
diam.
diam.
lama.
Perempuanku masih bergelung hangat di dadaku yang terbuka. Pelan, tangannya menyusup ke balik kemejaku. Meraba perut rata-ku, menjelajahi pinggang, dan berakhir di punggung liat-ku. Lalu dengan cepat perempuanku membebaskan bibir merahnya menjelajahi tubuhku yang setengah terbuka.

“Aku mau kakak. Sekarang...” katanya lagi, memaksaku. Dan kali ini aku nggak mampu menahannya menjelajahi dengan merdeka setiap inci tubuhku seperti seorang pengelana yang lapar. Aku membiarkannya menjadi apa yang dia mau, hingga suatu titik aku balik menyerangnya sekeras ia menyerangku.

Aku membiarkan lidahku menjelajahi setiap inci tubuhnya. Pelan, aku mencumbui bulu mata lentiknya, hidung mancungnya, telinganya, leher jenjangnya, pundaknya yang terbuka. Aku membiarkan lidahku menjilat darah yang mengental diatas lukanya yang terbuka. Aku membiarkan perempuanku menikmati diriku diatas tubuhnya. Aku membiarkannya bermimpi menjadi apapun yang dia mau.
Aku membebaskannya...

“Ughhh...” perempuanku mendekap erat tubuhku saat aku menekankan bibirku ke leher jenjangnya. Sebentar kemudian, aku bisa merasakan detak jantungku berpadu dengan desah halusnya yang berirama di tubuhku yang terbuka...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar