Minggu, 09 Januari 2011

dia


Senja hampir lalu. aku masih setia dengan rokok dan secangkir kopi pekat di teras apartemenku. Gerimis yang jatuh semakin menggelapkan soreku yang singkat hari itu. Lampu lampu jalan dinyalakan lebih dini. Jalanan yang biasanya padat kini sepi. Sementara payung warna warni tampak berlalu lalang kesana kemari.
Malam jatuh, sementara darahku belum beku. Nyeri yang tersisa saat aku naik ke ranjangku mengingatkanku padanya, yang memberikan kecupan ringan di bibirku yang biru.
***

“Dia menyakitiku...” aku sengaja membiarkan kalimat terakhirku melayang tak menentu. “Aku ingin bisa merelakan dia pergi, tapi aku belum mampu...”

Laki laki yang berbaring disampingku hanya tersenyum ringan menanggapi kalimatku. Banyak kata yang kuharap terlontar darinya, tapi aku hanya menemui diam yang bisu. Aku berusaha memejamkan mataku. Pedih membayang lagi disana. Seolah aku masih bisa merasakan nyeri yang sama senyata saat dia melakukannya padaku dulu. Mendadak aku merasa dingin itu kembali menguasai tubuhku...

“Jangan peluk badanmu sendiri seperti itu. Mending kamu peluk aku...” katanya sambil mengalungkan tanganku ke tengkuknya. Aku diam. Aku membiarkannya membuatku memeluknya. Aku membiarkan nafasnya yang hangat menghembusi dadaku. Aku membiarkan tubuhnya yang liat menekan badanku. Aku membiarkan bibirnya mencumbui bibirku yang beku.

“Aku nggak menginginkan kamu bersikap seperti ini sama aku...” katanya setengah putus asa. “Aku nggak mau kamu diem aja kaya boneka. Kamu bukan boneka, dan kamu tahu itu. Kamu manusia, lakukan saja apa yang kamu suka...”

Aku masih membiarkan tatapanku melayang kemana ia suka. Aku bisa merasakan nyeri yang sama. Aku bisa membayangkan sakit yang sama. Aku nggak bisa...

“Mmh, sakit...” aku bergumam pelan saat laki laki itu menyetubuhiku. Rasa sakit yang sama seperti yang pernah ada bertahun lalu sontak menyerbu. Tapi aku nggak berniat menghindar saat itu. Lupakan, Abe... kataku pada diriku sendiri. Rasa sakit, cinta, sayang, itu hanya ilusi. Kamu tahu, kamu nggak benar benar merasakannya. Otakmu yang menciptakan semuanya untuk badanmu...

“Mmh...” laki laki itu masih tetap menindihku dengan tubuhnya. Lengannya yang kuat masih menahan tubuhku tetap di pelukannya, sementara air mata menetes satu satu dari sudut mataku.

“Sakit...” aku mengerang sekali lagi. “Sakit...”

Aku berusaha menjauhkan tubuhnya dariku. Cukup, aku nggak menginginkan rasa nyeri ini kembali menyiksaku. Aku meringkuk setengah telanjang memunggungi laki laki itu.
“Aku nggak mau kamu memeluk dirimu sendiri seperti itu...” katanya pelan, sambil berusaha membalik tubuhku. “Kamu boleh peluk aku kalo kamu mau...” sekali lagi, dia melingkarkan lenganku ke tengkuknya. “Aku nggak bermakud menyakitimu. Aku nggak pengen akmu kaya gini. Aku pengen bantu kamu menyembuhkan sakit hatimu. Aku pengen kamu bisa menikmati apa yang aku lakukan sama kamu. Aku pengen kamu bisa merasakan apa yang seharsnya kamu rasakan. Ayo kita coba lagi...”

Entah kenapa, aku menuruti laki laki itu untuk mencoba ‘menyakiti’ diriku lagi. Mungkin ada yang salah dengan otakku, dan dengan ini aku akan membuatnya berlalu. Mungkin benar apa yang dikatakan laki laki itu padaku...
***

“Sakit... Nyeri...” aku masih bisa merasakan gelenyar darah kental yang mengalir dari selakanganku saat ini. Nyeri yang sama masih menghantuiku. Sementara vitamin K yang diresepkan dokter padaku hanya mampu sedikit menghentikan pendarahanku.

Dini hari kini hanya berjarak beberapa menit didepanku. Aku masih belum bisa memejamkan mataku. Nyeri, laki laki itu, lengannya yang kokoh, dan virus pikiran yang mendekam begitu lama dikepalaku berganti ganti muncul didepan mataku. Aku berusaha memejamkan mata untuk mengusir bayangan itu. Tapi aku tidak mampu. Aku sudah terlalu lelah untuk itu.

Aku membiarkan bayangan bayangan itu lewat didepan mataku. Aku membiarkan darah itu mengalir dibagian bawah tubuhku. Pelan, aku hanyut ke alam bawah sadarku. Aku nggak ingin ini. Aku nggak ingin sakit lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar