Minggu, 09 Januari 2011

buat 'dia'

Jogja selalu membawa kembali kenangan lama. Karena kesana lah cinta pertamaku berlalu...

“Jogjaaa!” spontan kelas yang berisi 50-an anak ini mendadak terasa seperti pasar pagi. kehebohan terjadi dimana mana, ketika pengumuman hasil polling lokasi PKL diumumkan. Akhirnya, Jogja... Jogja memang kota yang sempurna. Kota tuanya jadi incaran para penggila foto. Malioboro-nya jadi incaran para ratu belanja. Parangtritis-nya jadi lokasi pacaran paling menyenangkan. dan jalanan kampungnya yang berliku jadi tempat bersemayam cinta pertamaku yang hilang. Agak menyakitkan, sebenarnya. Sudah 4 tahun berlalu, dan aku masih mengingatnya. Menyimpan foto 3x4 nya, satu satunya foto yang bisa aku dapat dari kantor perpustakaan tempatnya menghabiskan istirahat siangnya. Fotonya yang tersenyum selalu mengingatkan aku pada mata lebarnya yang berkerjap pelan...
***

“Woi, ngelamun ajah...” tau tau Miko muncul dengan ransel pendaki di sampingku. “Mikirin siapa sih? Jangan jangan punya mantan di Jogja yaaa...”
“Nggak kok...”
“Lha itu tadi, ngapain mantengin dompet? Ada fotonya yaaaa... Liat donk?!” spontan Miko merebut dompetku. Dan tentu saja, ada foto Abe disana.
“Woiiii! Ternyata Randy bisa suka sama cewek juga!” Miko langsung heboh. “Liat nih, ini ceweknya pas jaman SMA! Tapi kok kayak gadis desa gini ya?”
“Balikin!” aku langsung merebut dompet di tangan Miko.
“Wah, ketauan yaaaa... seleranya yang polos polos nih...” Dony, temen satu angkatanku juga, langsung ikutan menggoda.
“Wah, aku nggak bisa daftar donk...” kali ini Mitha yang ambil bagian. Dan malam ini aku jadi bahan bulan bulanan sepanjang perjalanan. Alamat, nggak bisa tidur nih...

“Tu cewek siapa sih, Ran?” Miko kembali bertanya waktu para manusia di bus mulai terlelap satu satu. Kayanya dia masih penasaran sama Abe.
“Bukan siapa siapa. Temen SMA-ku...” aku menjawab malas, lalu memalingkan muka. Pura pura tidur...
***

“Bubar barisan, jalan!” akhirnya keluar juga mantra ajaib yang ditunggu tunggu sejak tadi. Dengan berakhirnya upacara sore ini, masa MOS SMA yang penuh tekanan yang wajib (terpaksa) kami jalani selesai juga. Semua anak langsung melemparkan topi SMP-nya ke udara. Nggak tahu lagi deh, topi topi SMP kami pada nyasar kemana... Lapangan yang awalnya dipenuhi perasaan mencekam, sekarang terasa merdeka. Mulai detik ini, kami resmi jadi anak SMA! “Hore... Hore... Hore...” lapangan upacara yang hening langsung terdengar berisik oleh teriakan kami. Semua anak yang semula dibentak bentak, dimarah marahin, sibuk memberi selamat satu sama lain sambil berjalan ke kelas kelas yang nantinya akan jadi kelas kami. Sambil sibuk ngobrolin kekejaman kakak kelas, mereka berdiri bergerombol menyusuri pintu masing masing kelas, mencari namanya masing masing di daftar absen yang ditempel di depan pintu. Aku yang sudah lelah, berjalan malas malasan ke kelasku, X-8. Aku sudah tau kok aku di kelas mana. Terlahir sebagai cowok dengan penampilan fisik hampir sempurna membuatku mudah saja mendapatkan keistimewaan dari orang lain, seperti bocoran kelas dari kakak OSIS misalnya...

“Kamu udah liat kelas dek?” kak Inez, kakak kelas yang terkenal kejam langsung mendekati aku dengan tatapan menggoda. Mentang mentang MOS udah kelar...
“Belom. Ntar aja, masi penuh...” aku menjawab malas.
“Oooh... kelasmu X-8 dek. Aku udah liat tadi...”
“Iya, makasih kak...” aku menjawab singkat, lalu berlalu pergi diiringi tatapan kecewa kak Inez dibalik punggungku. Terserah, aku nggak tertarik sama dia kok. Aku nggak suka cewek ganjen...

“Aduh...” tiba tiba aku denger ada yang mengaduh disampingku. “Kakiku keinjek...” adooowh, suaranya pelan banget sih ni anak. Gak pernah makan kali yaaa, batinku sambil melirik sebal.
“Sori...” jawabku acuh.
“Nggak papa kok...” si cewek itu tersenyum, lalu langsung berlalu pergi dan segera menghilang dibalik lautan siswa berseragam putih biru. Hal terakhir yang aku inget Cuma rambut panjangnya yang bergoyang pelan dan senyumnya yang tampak beda. Itu calon temen satu kelasku bukan ya?
***

Aku nggak tahu kenapa pagi ini aku bersemangat sekali. Baru jam 5 pagi, tapi aku sudah nggak bisa tidur lagi. Padahal biasanya aku bangun jam 6, karena aku masuk sekolah jam 7 pagi. aku masih penasaran sama cewek aneh yang aku injek kakinya kemaren. Itu calon temen satu kelasku bukan sih? Jangan jangan dia penunggunya kelasku lagi, abis kan katanya sekolahku ini bangunan lama. Jadi banyak hantunya. Hiiiy, auk ah...

“Pagi Randy!” pagi pagi, temen sekelasku waktu MOS udah muncul disamping mobilku yang baru aja parkir di halaman sekolah. “Kamu kelas mana?”
“X-8” aku menjawab malas malasan. Ni anak mau sekolah apa mau jadi dukun sih, batinku. Bedaknya tebel, kemejanya ketat, mana baunya kaya abis mandi parfum lagi. Eeegh...
“Deket donk... Aku X-5...” katanya, masih dengan nada sok akrab sambil menjajari langkah langkahku yang panjang. “Oh iya, kamu mau ikut ekskul apa nih, rencananya?” aduh, kecentilan banget sih ni anak...
“Nggak tahu. Mungkin nggak ikut ekskul apa apa.”
“Lho, kenapa? Nggak pengen ikut ekskul basket? Kamu kan tinggi... Pasti keren deh... Ntar kalo kamu ikut basket aku jadi supporternya deh...”
“Mmmm, jadi supporternya yang lain aja deh...” aku sudah nggak tahan, lalu langsung berlari meninggalkannya menuju kelasku. Nggak penting, pagi pagi udah tebar pesona. Gak berminat.

Bangku pojok kelas selalu menjadi tempat kesenanganku sejak SMP. Tenang, tertutup, nggak banyak yang ganggu... kelas masih sepi. Aku rasa aku datang terlalu pagi. sambil menyandarkan kepalaku dengan malas di meja, aku menatap satu-dua anak yang lalu lalang masuk keluar kelas sambil menanti ‘peri’ yang aku injak kakinya kemarin masuk ke kelasku. 10 menit, 15 menit... bel masuk hampir berbunyi begitu ‘peri’ yang aku tunggu masuk dengan agak tergesa kedalam kelas. Jujur saja, begitu ‘peri’ itu masuk ke dalam kelas, aku hampir tertawa. Ternyata masih ada aja ya, di jaman kaya gini, anak SMA pake kemeja longgar, rok sampe dibawah lutut, pake sabuk, sepatu keds item, kaos kaki putih, rambut diiket 1, bawa ransel pula! Nggak banget deeeh... Dan seperti sudah kuduga sebelumnya, ‘peri’ itu duduk di satu satunya bangku kosong didepanku. Sendirian.

“Huaaaah...” baru juga jam ke 3, tapi aku sedikitnya sudah menguap 7 kali. Sekolah ini benar benar membosankan. Mestinya aku nggak menolak tawaran papa untuk masuk sekolah internasional. Mestinya disana lebih banyak cewek cantik dan nggak ganjen. Guru guru dan kelasnya juga lebih interaktif. Nggak kaya disini. Jadi berasa kaya di sekolah purba...

“Nah, mudah kan... Untuk contoh soal yang ini, siapa yang bisa mengerjakan?” tiba tiba pak Benny, guru fisika itu, mengajukan soal yang (baru liat soalnya aja) bikin mules. Jelas aja gak ada yang angkat tangan. Nggak juga ‘peri’ aneh yang duduk di depanku ini, yang sejak tadi sibuk dengan kertas dan buku bukunya. Mata pak Benny nyalang mengitari seluruh penjuru kelas. Dan (entah kenapa) tatapannya berhenti padaku. “Kamu, mas, iya kamu, yang dipojokan. Coba maju kerjakan soal ini...” katanya, dengan tegas menatap mataku.
“Tapi saya nggak bisa pak...” aku berusaha ngeles.
“Ah, dicoba dulu. Kalo nggak coba mana boleh bilang nggak bisa... Coba bawa buku catatanmu maju ke depan. Nanti kalo nggak bisa saya bantu...” pak Benny berusaha sok baik. Huh, menyebalkan. Aku bingung mau maju bawa apa. Sejak tadi aku nggak nyatet. Ngeluarin buku sama bolpen aja enggak. Cuma buku paket aja yang barusan dibagi yang nangkring dengan manis di atas mejaku.
“Iya pak...” aku akhirnya mengalah. Salah salah bisa dimakan aku sama ni orang. “Pinjem ya...” aku langsung menyahut buku Abe yang lagi asik mikir (sambil ngelamun) sambil menggoyang goyangkan pensil merah mudanya. Buset dah, ni anak makan apa sih, cepet amat ngerjainnya...
Jawaban pertanyaan yang ada di papan sudah terjawab dengan rapi di bukunya. Dengan ini aku lolos dari masalah...
“Makasih ya...” kataku sambil meletakkan kembali buku ‘peri’ itu dengan santai di mejanya. Lagi lagi ‘peri’ itu hanya menjawab singkat sambil tersenyum.
“Sama sama...”
***

Nggak butuh waktu lama untuk membuatku merasa bosan di sekolah ini. Dan seperti biasa, setiap kali aku merasa bosan, aku nggak akan datang demi alasan apapun, kecuali ulangan. Setelah 5 hari masuk sekolah, aku memutuskan untuk bolos 1 minggu. Halah, baru juga hari hari awal, nggak mungkin bakal ada ulangan, gitu pikirku. Tapi ternyata jadwal bolos yang hanya aku rencanakan 1 minggu berjalan lebih lama. Hampir 3 minggu aku nggak masuk sekolah. Dan begitu aku masuk hari senin, ‘peri’ itu menyambutku dengan pertanyaan
“Kamu nggak masuk hampir 3 minggu ya. Bawa surat nggak? Surat ijin atau surat sakit gitu?”
“Buat apaan?” tanyaku bodoh.
“Buat urusan absensi...” jawabnya singkat. Oh, jadi dia yang diangkat jadi sekretaris di kelasku? Ternyata aku sudah nggak masuk terlalu lama...
“Nggak bawa... Besok ya?” aku berusaha tersenyum merayu.
“Iya. Jangan lupa ya...” katanya datar, sambil siap siap balik badan.
“Eh...” aku berusaha mencegahnya pergi. “Nama kamu sapa sih?”
“Abe.”
“Aku Randy...”
“Iya, Randy Soesetyo Wardana. Ada kok di daftar absen...” tiba tiba aku merasa bodoh...
***

Beberapa hari sudah berlalu. Aku sudah mulai nggak mikirin soal ‘peri’ Abe lagi. Apalagi dengan acara 17-an di sekolah, dan lomba basket yang menyita banyak waktuku. Rasanya aku hampir nggak inget dia kalo nggak sore itu ‘peri’ Abe datang mengurut kakiku yang terkilir waktu pertandingan.
***

“Fault!” aku mendengar hakim lapangan berteriak keras sambil meniup peluitnya setelah benturan keras antara aku dan pemain dari kelas XI. Beberapa teman langsung membantu kami berdiri. Pemain kelas XI langsung dibawa ke pinggir lapangan, sementara aku terpaksa mengaduh keras karena kakiku rasanya nggak bisa dipake jalan.

“Panggilin orang UKS! Cepet!” Ryan, temen satu tim-ku langsung berteriak panik. Oke, kakiku emang bengkak dan tampak agak mengerikan saat ini. Beberapa orang pemain cadangan yang duduk duduk di pinggir lapangan langsung berlari ke UKS, dan menyeret siapa aja yang ada disana.

“Kejadiannya gimana?” Abe bertanya sambil menatap kakiku yang bengkak. Dengan cepat beberapa saksi mata menjelaskan kronologi kecelakaan tadi. “Kakimu pernah patah, terkilir parah, atau pernah kecelakaan di kaki ini sebelum ini?” bak seorang perawat profesional Abe menginterogasi kami.
“Nggak ada...”
“Ya udah. Ini kayanya Cuma keseleo biasa. Bisa sembuh seperti semula dalam 3-4 hari. Tapi kalo pernah kecelakaan di tempat yang sama sebelumnya, mungkin perlu dibawa ke dokter...” Abe menjelaskan sambil mengurut pelan kakiku yang terkilir. Di tengah lapangan, permainan sudah berjalan lagi. Aku sudah digantikan Bram, pemain pengganti dari kelasku.

“Sejak kapan kamu jadi paramedis?” akhirnya aku bertanya juga. Abis, aku penasaran kenapa jadi Abe yang dibawa ke lapangan. Anak anak nggak tahu ya kalo dia itu juga siswa...
“Aku ikut pelatihan P3K kelas 6 SD. Kelas 2 SMP aku terdaftar jadi anggota PMR Surabaya. Lulus SMP, aku direkrut tim SAR nasional jadi anggota. Tapi aku tadi di UKS karena kepalaku kena bola voli. Nggak tahu nih, kepalaku punya masalah apa sama bola. Kok kayanya bola apapun nggak suka sama kepalaku...” Abe bicara panjang lebar, tetep sambil mengurut kakiku. “Udah...” katanya akhirnya, setelah membebat kakiku yang sakit dengan perban coklat. “Mestinya kamu bisa jalan abis ini. Mungkin masih kerasa agak sakit, jadi jangan dipaksa ya...”
“Makasih ya...” kakiku sudah nggak terasa begitu sakit lagi.
“Sama sama. Aku pulang duluan ya. Sudah sore ini...” katanya sambil meringkas barang barang yang dibawanya dari UKS.
“Iya...” aku hanya bisa menatap bagian belakangnya yang dibalut kaos putih longgar dan celana pendek coklat tua menghilang dibalik tikungan.

“Gimana kakimu?” Ryan dan Bram bertanya hampi bersamaan begitu pertandingan dinyatakan usai dengan hasil imbang. “Minggu depan kita tanding lagi. Bisa ikut kan?”
“Hmm, nggak tahu. Kalo katanya Abe sih 3-4 hari lagi kakiku bisa sembuh...”
“Ah, dia aja lo percaya...” Ryan menukas sengit. “Anak aneh... Jelas tadi kakimu bengkak sampe gede banget gitu...”
“Halah, udah lah... Ngapain sih lo ngomongin tu anak aneh? Naksir ya lo?!” kali ini Bram yang bicara.
“Ih, amit amit deh. Mending gue pacaran sama Vina anak kelas sebelah daripada jalan bareng ma Abe...”
“Hahahaha... Sinting lo... Masa lo mau sama Vina si gentong keramik itu sih...”
“Biar! Daripada gue gatel gatel jalan sama si Abe. Salah salah ketularan anehnya lagi gue ntar...”
“Eh, kalian ngomongin apaan sih? Emang si Abe kenapa? Aneh? Menurut gue dia baik baik aja kok... So far so good... Kecuali tampilannya yang agak old-school...” aku nggak paham sama apa yang Bram dan Ryan bicarakan.
“Ah, lo sih kebanyakan bolos... Makanya sekolah donk... Atau kalo enggak, rajin rajin dengerin gossip. Si Abe itu kan aneh... Jarang ngomong sama anak lain, antik, sukanya main ke perpustakaan gitu, pinjem buku buku aneh, pokoknya gak banget deh...”
“Lho, emang kenapa?”
***

Ternyata Abe itu nggak seperti yang aku bayangkan. Dia beda. Jauh sekali berbeda...
Abe memang anaknya lumayan pinter di kelas. Rapi, tertib, dateng gak pernah telat, dan selalu ngumpulin tugas tepat waktu. Ini yang bikin dia di-cap aneh sama anak anak lainnya. Dan kebiasaannya yang cenderung kemana mana sendiri bikin Chika dkk, gank cewek cewek cantik di kelasku jadi nggak suka sama dia. Dan mulailah Abe digencet. Tapi bukannya takut, Abe malah ngelawan. Emang sih, dia nggak pernah dengerin anak anak yang iseng ngejekin dia waktu dia lewat atau maju ke depan. Tapi setiap kali Chika dkk, atau Ujang dkk, gank anak anak nakal di kelasku mulai ganggu dia, Abe nggak pernah segan untuk membalas. Pernah muka Ujang dkk bonyok dihajar Abe sendirian di dalem kelas gara gara Ujang gangguin Abe yang lagi makan sendirian di bangkunya. Pernah juga Chika dkk dibikin pulang dengan baju berantakan dan bibir berdarah gara gara berani beraninya numpahin cat tembok di rambut Abe yang selalu diiket 1. Kata anak anak, Abe kuat kaya hulk. Dia pernah bikin pintu kelas pecah, bikin meja kayu jebol, dan bikin papan tulis item didepan terpaksa diganti gara gara hancur dipukul dia. Dengan badan mungil, sikap yang aneh, dan kekuatan yang (menurutku) agak jauh diatas normal setiap kali dia marah, anak anak makin takut sama dia. Dengan segera beredar lah gossip gossip aneh di kalangan anak kelas X soal dia. Mulai dari anak haram, lesbi, bahkan yang lebih kejam, perek, gara gara buku tulis yang biasa nemenin dia di saat saat sendirinya jatuh ke tangan anak anak yang kurang bertanggung jawab.
Menurutku Abe itu penulis berbakat, sih. Kaya Tiara, kakak perempuanku yang sekarang lagi kuliah di Sydney. Kak Tiara juga suka baca buku, dan suka nulis juga. Kalo mood nulisnya lagi keluar, dia nggak lagi butuh kertas sama pulpen. Tisu sama pensil aja bisa jadi sarana. ‘Inspirasi itu harus diiket Ran, biar gak ilang. Soal finishing bisa nanti. Tapi soal ide, lain lagi...’ gitu selalu katanya kalo aku memprotes kebiasaannya minjem pensil sama waiter coffee shop tempatku biasa menghabiskan sore sama dia dulu. Cuman mungkin anak anak salah nangkep maksudnya. Aku rasa, Abe bukan tipe cewek yang suka nulis diary... walaupun beberapa kisah yang ditulis di bukunya terasa begitu nyata...

“Abe, aku pinjem catetanmu ya...” aku terpaksa mencegatnya pulang sekolah untuk pinjem catetan pelajarannya. Aku nggak mau kepergok anak anak lain ngomong sama dia di sekolah. Bukan apa apa, aku nggak mau digossipin aneh aneh sama anak anak. Lagipula aku sudah cukup akrab sama gank elit anak sekolah ini. Aku nggak siap ‘sendirian’ lagi...
“Pinjem catetan yang mana?” seperti biasa, Abe selalu bersuara pelan.
“Semuanya, kalo bisa. Mau aku fotocopy buat ujian UAS minggu depan...”
“Hmm, besok aku bawa ya. Kalo bisa jumat kembalikan. Biar aku bisa belajar juga...” Abe tersenyum tipis. Dan aku sekarang sadar ada memar di sudut bibir kiri-nya.
“Iya, makasih ya...”
“Iya. Aku duluan ya...” lagi lagi abe tersenyum tipis. Angkot hijau langganannya sudah berhenti di halte depan sekolah. Dengan cepat Abe menghilang bersama angkot hijau-nya.

‘Ah, dia kan tukang berantem. Paling juga abis berantem. Tapi kok sampe segitunya... Eh, denger denger dari guru BP, Abe itu altlet judo. Ah, mungkin kecelakaan pas pertandingan. Udah ah...’ aku berusaha menghilangkan pikiran aneh yang muncul di kepalaku tentang Abe. ‘Apa apaan sih, nggak lucu deh kalo lo suka sama anak aneh itu...’

“Ada di mejamu. Kembalikan besok lusa ya...” Abe bergumam pelan waktu aku nggak sengaja berpapasan sama dia di lapangan keesokan harinya. Aku tahu, Abe tahu anak anak sekelas menggosipkan hal aneh tentang dia. Kayanya abe juga tahu, nggak banyak anak anak yang mau deket dengan dia. Dalam arti yang sebenernya. Jadi dia memilih untuk meletakkan catatannya di laci mejaku pagi pagi, supaya bisa aku bawa pulang tanpa ketahuan anak anak yang lain. Aku senang sih, kalo Abe kaya gitu. Tapi sekilas tadi aku lihat matanya basah. Kenapa? Karena aku kah?

“Nah yaaa... Pagi pagi udah ngelamun. Ngelamunin sapa lo?” Bram langsung menghampiri mejaku begitu kakinya menjejak kelas.
“Ah, enggak. Cuma mikirin ujian besok...” aku mencoba bohong.
“Nyantai aja... Pinjem catetan anak anak aja. tuh, cewek cewek punya banyak kok...”
“Iya...”
“Eh, gimana? Lo ikut nggak ke Bali ntar?” Bram langsung mengubah arah pembicaraan.
“Ke Bali?! Ada acara apaan?”
“Perpisahan kelaaaassss... dodol amat sih lo... Kan asik tuh, ntar kita bisa puas puasin mantengin anak anak pake baju bebas. Bayangin si Clara, Ayu, atau Chika pake kaos ma hotpants... wow, sexy...”
“Hmm... Ikut...”
“Lo kenapa sih bro?! Kok kayanya nggak semangat gitu... Lo sakit ya?” bram berusaha mengukur panas badanku. “Nggak demam kok...”
“Aaaah... Gue gak papa kok. Eh, lo bisa dapetin buku diary-nya Abe gak? Penasaran gue...”
“Halah, penasaran juga lo ya? Kemaren gue tawarin ngakunya gak tertariiiik... Tenang, ada di gue. Ntar sore gue kirim ke rumah lo deh...”
“Yo’a... Makasih bro...”
***

‘She is good... She got the talent. Who’s she? And how can you get this?’
Tiara langsung menjawab dengan cepat begitu aku mengirim salah satu cerita yang aku baca di buku Abe yang aku dapet dari Bram.
‘She is my friend. She is smart. But quite nerdy...’
‘Hahaha, that’s writer type. I can see stars in her hands...’
‘Don’t you think it’s her real story? You know, I mean... Don’t you...’
‘I can see clearly that she’s hurts. Deep hurt, you know... Just like us. But this one is deeper. But I can surely say that she is not ‘this’ kind of girl...’
‘Ouw...’

Kisah kisah yang terpeta di bukunya mengingatkanku akan masa laluku. Waktu mama dan papaku hampir berpisah. Semuanya terasa begitu mengerikan saat itu. Dan Abe menangkap momen momen itu dengan sangat sempurna. Sekaligus memenjarakannya dalam kata kata dan ungkapan yang kaya...
***

“Belom pulang, Be?” siang itu aku sengaja pulang lebih lambat, soalnya aku mau ngembaliin bukunya Abe yang aku pinjem dua hari lalu. Seperti biasa, aku menemui dia di halte tempatnya biasa menunggu angkot. Siang ini hujan turun rintik rintik. Awan mendung yang pekat juga masih belum ingin hilang dari atas kepala.
“Ini masih nunggu angkot. Dari tadi belum ada yang muncul...” katanya sambil tetap menatap penuh harap ke ujung jalan.
“Ini bukumu. Makasih ya...” kataku sambil mengangsurkan setumpuk buku bersampul coklat polos. “Ini, aku kemarin dapet buku tulismu yang dibawa anak anak...” kataku, sambil mengangsurkan buku tulis tanpa sampul. “Maaf ya, aku udah baca isinya...” entah kenapa, aku agak merasa bersalah.
”Makasih ya...” katanya, begitu buku tanpa sampul itu berada di tangannya. Aku bisa melihat dengan jelas kalo matanya berkaca kaca.
“Mmmm... Mau ditemenin sampe angkotmu dateng? Daripada sendirian...”
“Nggak usah, nggak papa kok. Makasih ya bukunya. Aku nggak punya copy-an nya...” katanya tersendat. Kentara sekali kalo Abe berusaha menahan air matanya yang hampir tumpah...
***

Malam hampir berlalu. Tapi aku masih juga belum bisa memejamkan mataku. Aku sudah terlalu lelah, tapi belum ingin tidur... Entah kenapa aku masih terus memikirkan Abe dan air matanya yang hampir tumpah. Aku penasaran, sebenernya dia itu kenapa sih... Tadi aku lihat satu goresan panjang di tangan kanannya. Bukan goresan untuk memotong nadi, tentunya. Lebih seperti bekas dilukai benda tajam... Akhirnya aku memutuskan untuk menulis sesuatu. Apapun yang jadi, besok pagi aku taruh tulisanku di laci mejanya.
***

Pagi ini Abe datang agak lebih telat dari biasanya. Sudut bibirnya masih lebam, tangan kanannya juga masih luka. Aku bahkan bisa melihat bekas perlukaan di dagunya, yang secara sia sia berusaha disembunyikannya dengan taburan bedak warna coklat muda. Aku sudah meletakkan suratku di lacinya tadi pagi. dan aku yakin Abe akan menemukannya. Walaupun dia nggak akan dengan norak membacakannya keras keras di depan kelas, pastinya...

‘Oke brother, I know you love her...’ Kak Tiara menukas dengan yakin saat malam ini aku kembali mengobrol dengannya di dunia maya.
‘You always tell me about love... You know I just touched by her story...’ aku berusaha mengelak.
‘No, I can see it in you eyes, baby... I’ve been 16 years by your side. We known each other more than our own hands...’
‘OK. Let’s pretend that you’re right. So what should I do? Say her I love her? Ask her be mine? Are you insane?!’
‘No no no... Don’t be that rough. Just find your best time and say it to her... You know you’ll be do it good...’
Kak Tiara emang orang yang paling ngerti apa mauku deh...
‘Ngantuk kak. Bobok dulu yaa...’
‘Yee... Iya deh... molor sana!’
***

Minggu sore. Ini minggu terakhirku bersenang senang sebelum ujian. Besok senin, lembaran kertas kertas mematikan pasti sudah menunggu di meja kami masing masing. Ah, ujian memang selalu menjadi hal yang paling dibenci semuanya. Aku jadi berpikir pikir, kira kira Abe belajar nggak ya? Kalo aku jadi dia, mungkin aku nggak akan belajar. Bobok aja seharian. Sekali liat aja udah bisa kok...

“Woiiiiii!” Ryan dan Bram berteriak dengan kompak di telinga kiri dan kananku, membuyarkan lamunanku yang sengaja kubiarkan melayang layang nggak jelas...
“Apaan sih?” aku mendelik sewot sambil membetulkan letak earphone-ku. “lari ya lari aja, gak usah gangguin orang... Pada sirik ajah. Lagi asik dengerin musik nih...”
“Gimana gak sirik? Lo ngaku dengerin musik, tapi muka ngelamun kaya mayat hidup gitu... Tuh, ada cewek seksi jogging berdua temennya. Mau?” Ryan langsung menunjuk segerombolan cewek dengan baju pendek yang asik berjogging sambil tebar pesona. “Gak ah. Buat lo aja. gak minat ma yang kaya gitu...”
“Huahahaha... hombreng lu!” Ryan nyeletuk keras. “Jangan jangan bener ya kata anak anak, lo ada hati sama kuntilanak kelas kita?”
“Eh, sumpe lo?!” kali ini Bram yang kaget. “Kok bisa sih lo suka sama si Abe? Udah gila lo ya?!” aku yakin, Bram dan Ryan akan menceramahiku lamaa sekali kalo aku nggak cepat cepat meng-klarifikasi.
“Kagak lah... Udah pada gila lo?”
“Hahahaha... Kaleeee...”

‘Sori, Be...’ aku merasa sangat berdosa membohongi hatiku sendiri. Aku nggak bilang kalo aku suka sama Abe. Tapi menurutku, Abe asik aja kok diajakin temenan. Anaknya beda, nggak kaya temen cewek kelasku yang lain...

“Hhhh, capek...” aku memelankan lariku, lalu berbelok di tikungan depan. Aku hafal sekali, di belakang gedung tua yang nggak terpakai ini, ada jajaran tempat membasuh diri buat anak anak judo. Di sebelah kanannya ada mess anak anak judo. Nggak jauh dari situ juga ada dojo... Hmm, jadi inget Abe. Kata anak anak dia anak judo. Kira kira dia latihan disini nggak ya...

Sore belum terlalu tua. Dan KONI selalu membuatku ingat papa. Papa dulu atlit pencak silat. Mama atlit voli. Kata mama, dulu mama pertama kali ketemu papa ya di KONI ini. Papa juga bilang sayang sama mama disini. Sayang, rasa sayangnya papa sama mama nggak bertahan selamanya... Papa lebih memilih pergi dengan atlet pencak silat asuhannya dibanding tinggal sama aku dan mama dirumah kami yang hangat dan nyaman...

“Hai...” aku masih terus melangkah nggak jelas ketika suara seseorang (lagi lagi) membuyarkan lamunanku. Dengan cepat aku mengangkat kepala, dan menemukan senyum tipis Abe yang lagi duduk bertelanjang kaki di teras dojo, masih dengan baju judo-nya. Mungkin habis latihan...
“Eh, hai...” aku kaget bertemu dengannya disini. Ternyata dia anak KONI juga. Nggak kaget kalo kemampuannya sehebat yang diceritakan anak anak di kelas. “Lagi apa?”
“Nggak ngapa ngapain. Aku suka nunggu sunset disini. Sunsetnya bagus. Lagian, masih terlalu sore buat pulang...” aku bisa melihat air matanya menggenang begitu dia menyebut kata ‘pulang’. Sejenak aku kehilangan kata kata. Aku lebih memilih untuk melempar pandanganku ke sekeliling kami. Dan aku rasa Abe juga nggak berkeberatan aku duduk di sampingnya tanpa bicara. Sampai nikon D-70 diatas ransel Abe yang tergeletak begitu saja di sampingnya menarik minatku.
“Kamu suka motret juga, Be?”
“Iya...”
“Wah, asik donk? Lihat donk kameranya?”
Dengan sekejap, perbincangan kami menganak sungai. Nggak peduli langit yang menggelap, senja yang jatuh, dan Ryan dan Bram yang mencari cariku dari tadi. Sementara berturut turur lagu You’ll be save here-nya Rivermaya dan Only Hope-nya Mandy Moore mengalun pelan dari music player portabelku...
***

Senin pagi. Hari ‘pertandinganku’ yang pertama. Minggu ini mungkin akan terasa sebagai minggu terlama dalam hidupku. Bayangkan saja, seminggu penuh aku harus belajar, menjejalkan semua informasi dari catatan catatan yang sudah kufotokopi, untuk ditagih lagi keesokan harinya. Kalo nggak gitu, mungkin aku nggak bisa naik kelas. Aku kan serng bolos, ulangan harian banyakan ancurnya, tugas juga jarang ngumpulin. Hhhh, pokoknya semangat!

“Eh, tau gak sih, kemaren gue liat Randy duduk berduaan di tempat latihan judo sama si Abe!”
“Iya, beneran. Sumpah. Kan kemaren gue ma Ryan kan jogging bareng, ma Randy juga. Terus tau tau randy ilang. Trus gue ma Ryan nyariin sampe malem. Gak taunya Randy lagi asik mojok ma Abe di tempat latihan judo. Ngobrol gitu, kayanya mesra banget...”
“Ih, masak sih? Eeegh, kok Randy mau sama kuntilanak kaya gitu?”
“Au, deh... Tuh, anaknya dateng...”
Tatapan seluruh kelas terasa menghujam begitu aku muncul di depan pintu. Perasaanku nggak enak. Aku yakin, seyakin yakinnya, ada yang salah disini.
“Lo apa apaan Ran, berduaan ma kuntilanak di KONI kemaren?” tanpa basa basi, Clara menyerangku dengan kata katanya yang pedas.
“Hah, apaan sih. Biasa aja kalee... Kebetulan aja gue ketemu dia disono kemaren...”
“Alaaah, gak usah sok ngelak deh lo. Ryan ama Bram aja ngeliat kalian berdua mesra banget gitu...”
“Mesra gimana? Pelukan, ciuman, gitu? Ni bocah aja lo percaya. Parah lo semua...” dengan marah aku membanting ranselku lalu keluar lagi dari kelas. Sementara Ryan dan Bram mengejarku dari belakang.
“Ran, bentar napa!” mereka berdua berusaha menahan laju langkahku.
“Ah, kalian apa apaan sih. Biasa aja napa. Kaya gak pernah liat orang ngobrol aja...”
“Ya tapi lo kayanya asik banget gitu ngobrolnya. Sampe gue ama Ryan lo cuekin...”
“Bukannya lo udah sama cewek cewek seksi yang jogging pake rok mini kemaren itu?” aku balas menyerang mereka. “Gak usah sok perhatiin gue deh...”
“Iya iya iyaaa... Sori deeeh...”
“Iyeeee...”
***

“Huahahaha... Parah banget lo! Masa lo mikir dia kaya gitu sih?”
“Iya lah... Sekarang liat aja ceritanya. Kaya dia sendiri kan yang jalanin cerita ceritanya...”
“Iya tuh. Jangan jangan beneran dia lagi yang ngerasainn ceritanya. Makanya bisa menjiwai banget... Lagian dia kan emang aneh...”
“Hahaha... Kok ada ya cewek yang sial banget kaya dia... Udah gak punya temen, nggak cantik, aneh, idupnya nggak jelas pula...”
“Ih, amit amit deh punya temen kaya dia... Jangan sampeee, gitu...”
“Eh, lo perhatian gak. Kadang kadang kan ada luka di tangan, kaki, kadang mukanya. Kaya kena benda tajam gitu. Kadang kaya dipukul pake sesuatu. Jangan jangaaaan...”
“Huahahaha... sinting lo. Jauh banget sih imajinasi lo...”
“Kan bisa aja, kaaaan...”
“Hahahaha...”
Aku, Ryan, dan Bram terlalu asik menggosipkan Abe waktu istirahat ujian. Senang rasanya memiliki teman temanku kembali. Nggak punya temen adalah bencana terbesar dalam hidupku. Aku nggak bisa bayangin gimana Abe bertahan dengan dunianya yang sepi, nggak ada siapa siapa. Kalo aku, mending aku pindah sekolah aja deh. Daripada sekolah bikin aku gila kaya disini. Aku asik aja ngomong hal yang enggak enggak soal dia, tanpa sadar kalo ternyata Abe juga lagi makan di kantin yang sama. Dan sejak tadi dia mendengar pembicaraan kami.

“Berapa bu?” aku baru sadar kalo sejak tadi Abe disitu baru setelah Abe hendak membayar makan siangnya di kasir kantin. Ternyata sejak tadi abe duduk nggak jauh. Aku bisa melihat matanya agak berkaca kaca waktu lewat di jalan disampingku...
***

‘What should I do?!’ aku bercerita penuh kepanikan sama kak Tiara soal kejadian di kantin tadi siang.
‘Boys will be boys...’ di luar dugaan, kak Tiara malah menjawab dengan sangat santai
‘OK. I know I did it wrong. Now, tell me what should I do to make up?!’
‘Chill... I will help you...’
‘OK. Help me then. NOW!!!’

‘OK Randy’, aku bicara pada diriku sendiri. ‘Be gentle. Ask her an apologize. I know she will forgive you...’ aku terus terusa bicara pada diriku sendiri sepanjang koridor kelas. Dari jendela, aku bisa melihat Abe yang duduk di pojokan kelas dengan salah satu buku bacaannya. Baiklah, aku akan menemuinya pulang sekolah nanti. Di halte, seperti biasa. Dia kan biasa nunggu angkot disitu. Kali ini pasti bisa...

Diluar dugaan, ternyata ujian kimia kali ini benar benar memeras otakku. Susah buangeeet! Coba kalo tadi nggak dipaksa ngumpulin sama pengawas ujian, pasti kertas ujiannya masih aku pantengin dengan penuh perhatian. Masih bingung, soalnya. Dan lagi, coba kalo aku nggak inget harus pulang cepet buat nyegat Abe di halte buat minta maaf hari ini.

“Abe!” aku hanya mampu mengeluarkan suara teriakan tertahan begitu aku melihat Abe dengan santai naik ke boncengan motor seorang cowok, lalu langsung menyandarkan pipi pucatnya di punggung cowok itu. Siapa lagi tu cowok?!, batinku nggak terima. Untungnya di halte tadi kayanya ada anak sekolah ini juga yang kenal sama Abe. Tadi sebelum Abe berlalu sama pengendara motor merah itu, mereka sempat dadah dadahan. Mungkin bisa diinterogasi...

“Eh, hai...” mati matian aku berusaha mengatur nafasku yang ngos ngosan. “Kamu temennya Abe ya?” anak itu menatapku dengan tatapan curiga.
“Iya, knapa ya?”
“Nggak papa. Cuma mau tanya tanya. Boleh?” aku berusaha beramah tamah.
“Tanya apa?” aduh, sadis juga ni anak.
“Tadi Abe sama siapa sih? Sama pacarnya ya? Kamu tau rumahnya dimana? Eh, kalian ikut ke Bali kan ntar? Oiya, Abe pernah cerita sama kamu soal anak anak kelasnya nggak? Atau soal urusan pribadinya kali?” aku nggak bisa menahan pertanyaan yang selama ini aku pendam. Aku benar benar ingin tahu... Dan sekali lagi, anak perempuan itu menatapku dengan tatapan penuh curiga. Kaya aku teroris aja...
“Abe tadi sama kakaknya. Aku nggak tahu rumahnya dimana. Yang pasti deket sama rumahku. Aku sih ikut ke Bali, kalo Abe nggak tahu... Kalo soal anak anak kelasnya, kadang dia cerita. Tapi nggak banyak sih. Aku nggak begitu deket sama dia. Cuma kadang kadang aja pulang bareng. Lagian Abe itu anaknya tertutup banget. Kalo urusan pribadi, bukan urusan kamu dia mau cerita apa enggak sama aku. Kalopun dia cerita, aku nggak akan bilang kamu. Kamu anak kelasnya juga kan? Mau apa sih? Mo bikin masalah lagi? Kamu nggak bisa liat Abe udah cukup banyak ditimpa masalah?! Dasar manusia nggak punya perasaan. Aku sumpahin kualat semua...” ternyata temen Abe kejam juga. “Udah, aku mau pulang. Tuh, angkotku dateng!” katanya sambil mencegat angkot hijau muda yang lewat. Lalu secepat kilat melompat masuk ke dalamnya.
Perasaanku makin nggak karuan saat itu. Aku yakin, dengan sangat yakin, ada yang salah dengan Abe. Setidaknya, dengan dunianya. Tapi kau nggak tahu itu apa. Petunjukku terlalu sedikit untuk mencari tahu. Lagipula, aku nggak mau dapat masalah lagi sama anak anak sekelasku. Mmm, mungkin Bali memang tempat yang sempurna untuk menyelesaikan semuanya.
Akhirnya aku pulang dengan perasaan agak lega...

‘I’m going to Bali tomorrow...’ dengan jumawa aku pamer sama kak Tiara yang sudah setahun lebih nggak bisa pulang ke Indonesia.
‘Don’t fool me... Who’s gonna pay your trip? Papa?!’
‘No. I’m going with my school there. A week! 7 days and nights! Party never over there...’ kataku penuh kemenangan. Aku hampir bisa membayangkan kak Tiara menarik narik rambut panjangnya yang ikal disana.
‘I hate you...’ Huahahaha, akhirnya ngambek juga dia.
‘I hate you more...’ aku membalas sambil cekikikan.
‘I hate you full.’ huahahaha, kali ini tawaku benar benar meledak.
‘I’m planning to make up with her there...’ akhirnya aku bicara serius. ‘wish me luck, OK?’
‘Always. Good luck, brother...’
***

Akhirnya, jam 5 pagi juga... Semalaman aku nggak bisa tidur hanya karena membayangkan aku akan bepergian seminggu penuh tanpa mama atau papa. Ooh, betapa liburan kali ini akan terasa sangat menyenangkaaaan...

“Randy berangkat Ma!” aku berteriak lantang dari garasi. Sementara mama yang sibuk di dalam langsung tergopoh gopoh keluar dan menyerahkan sejumlah uang padaku.
“Iya, ati ati ya nak. Ini dari papa. Kemarin di transfer. Ati ati disana. Jangan aneh aneh. Jangan lupa belikan mama perhiasan perak bakar!” mama berpesan buru buru, takut aku kabur sebelum mama berhasil menyelesaikan ceramahnya. Aku berusaha memacu kendaraanku secepat mungkin. Selain Bali, ada satu orang yang ingin aku temui di sekolah...

“Ran! Ran! Sini deh ama kita aja di belakang!” Ryan dan Bram sibuk memanggil manggilku dari bagian belakang bus. Aku berjalan dengan malas ke belakang bus. Sejak tadi aku mencari Abe diantara tumpukan anak anak kelasku. Tapi nggak kelihatan. Apa Abe nggak ikut...

Perjalanan panjang yang aku sangka akan menyenangkan ternyata sama sekali nggak menyenangkan buatku. Kata guru pendamping kelasku, Abe nggak bisa ikut pergi ke Bali. Katanya ada masalah keluarga. Nggak jelas juga masalahnya apa. Kakaknya Abe Cuma ngasi konfirmasi lewat telepon tadi pagi. oke, lengkaplah sudah penderitaanku. Dikelilingi Clara and gank, dan beberapa cewek ganjen lainnya dari kelas sebelah yang sok sokan perhatian seminggu penuh...
“Randy, jalan bareng yuk!”
“Randy, foto bareng yuk!”
“Randy, pemandangan pantainya keren banget ya... Romantis bangetttt...”
***

‘How is your week, brother?’ aku yakin kak Tiara mau menagih cerita dariku
‘Disaster.’ Jawabku singkat. Aku sedang nggak ingin mengobrol malam ini.
‘How come? She don’t forgive you?’
‘She’s never going to Bali with me...’
‘So sorry to hear that...’

Liburan kali ini menjadi liburan terlama buatku. Aku sadar sekarang, mungkin benar selama ini aku menaruh hati pada Abe. Hanya aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. Dan mungkin terlalu takut untuk nggak punya teman. Berkali kali lagu lagu sendu mengalun memenuhi seluruh kamarku. Berhari hari aku memandangi fotokopian yang berisi tulisan tangannya di meja belajarku. Sampe mama bingung, sebenarnya ada apa denganku. Malah mama sempat mikir kalo aku kesambet hantu dari Bali...

Tahun ajaran baru yang datang menjelang sempat membangkitkan sedikit semangat hidupku. Aku yakin akan bertemu dengannya nanti, walau mungkin kami nggak sekelas lagi. Nggak masalah, yang penting aku bisa ngeliat senyumnya lagi. Tapi sekali lagi, harapanku kandas begitu saja.
“Abe pindah ke luar kota...” gitu kata guru BP yang aku samperin habis upacara tadi pagi. jawaban yang sama juga aku terima dari temen Abe yang pernah aku interogasi di halte. Abe sudah pindah keluar kota. Katanya Abe pindah ke Jogja, ikut kakaknya sekolah disana. Nggak ada yang tahu nomer kontak atau alamatnya disana. Abe nggak ninggal alamat barunya, kata guru BP. Alamat lamanya yang di Surabaya juga udah kosong. Nomer telpon yang terdaftar di BP sudah nggak bisa dihubungi. Mendadak aku merasa kehilangan. Kehilangan yang sangat besar...
Sia sia aku mencari tahu tentang dia kesana kemari. Ke Dojo, jawabannya sama. Pindah. Nggak ninggal alamat atau kontak barunya disana. Saat itu aku merasa dunia ini kejam padaku. Kenapa mendadak Dia menjauhkan Abe dariku?! Satu satunya kenangan tentang dia yang masih bisa aku dapat hanya foto 3x4 yang diserahkan ke perpustakaan waktu pertama kali masuk sekolah. Di foto itu, Abe yang pucat mengenakan kemeja berwarna pink tua...
***

Subuh Jogja yang dingin menyambut rombongan kami disana. Langit yang masih gelap dan agak berkabut, suasana kota yang mulai menggeliat dengan penjual makanan khas-nya dan suara kicau burung yang sudah lama nggak pernah terdengar lagi di Surabaya membangkitkan sisi melankolis dalam diriku yang sudah lama terpendam. Mendadak mataku basah, dan otakku memutar lagi ingatanku tentang dia. Abe yang selalu tersenyum dan bersuara pelan. Abe dengan pipi pucatnya. Abe, yang akhirnya hilang ditelan kota Jogjakarta. Abe, yang nggak pernah sempat mendengar pernyataan cintaku untuknya...


“Woi, jangan ngelamun aja. Ntar kesambet baru tau lu...” Mitha langsung menowel pundakku begitu kakinya menginjak daratan Jogja. “Akhirnya, kaki gue berhasil nginjek Jogja juga... Pokoknya gue mau shopping sepuas puasnya disini...”
“Ah, belanja aja yang ada di pikiran lo... Kalo gue sih mau nyari cewe Jogja yang cakep buat di-PDKT-in...” Miko menyahut.
“Kalian ini apa apaan sih... Ingat, kita kesini buat apa...” Doni menjawab dok bijak. “Bantuin Randy nyari cinta pertamanya yang ilang ditelan liku liku jalan di Jogja...” katanya sok romantis.
“Wuiii... So sweet...” teman sekelasku langsung menyahut kompak. Spontan aku melemparkan botol minum separuh kosongku ke kepalanya. Tuk! Tepat sasaran.

Jogja memang selalu membangkitkan rasa cintaku padanya. Mendengar namanya aja udah bisa bikin hatiku hangat. Dan sekarang, aku menginjak tanahnya. Tanah yang mungkin juga pernah diinjak Abe sebelumnya. Mendadak aku merasa dekat dengannya. Bisa mencium aroma rambutnya yang selalu wangi. Membayangkan senyum tipisnya. Membayangkan mata lebarnya. Juga membayangkan memar di sudut bibir dan goresan di tangan kanannya yang selalu ingin aku sentuh dengan ujung jariku. Sayangnya aku nggak pernah punya keberanian untuk berdiri begitu dekat dengannya, dulu...

“Jadwalnya kita mau ngunjungin sekolah teater nih abis ini. Terus kita ke sentra batik. Terus kita ke keratonan, abis itu acara bebas sampe besok sore. Horeee!!!” Vika, salah satu ratu belanja kampusku, lagi asik memelototi jadwal perjalanan yang dipegangnya sambil terus mengoceh dibelakangku. “Asik nih, Ran. Kamu bisa jalan jalan seharian di Jogja. Sapa tahu ketemu sama cintamu yang hilang...”
“Halah...”
“Hehehe... Kali aja keajaiban cinta dan indahnya kota Jogja bisa menyatukan cinta kalian yang sudah lama hilang...” heran, kenapa begitu nyampe Jogja semua anak jadi seniman dadakan. Mentang mentang Jogja kota seni...
***

Mentang mentang mau mengunjungi sekolah teater terbesar di Jogja, anak anak pada dandan aneh aneh semua. Bergaya sok seniman gitu, maksudnya. Kalo udah kaya gini, yang kasihan ya mereka yang penelitian disini. Nggak bisa pake baju aneh aneh. Kalopun pake baju aneh aneh, ketutupan jas almamater juga.

“Semangat napa...” Miko menyenggol pundakku dengan agak keras. Miko, yang emang dari sononya punya rambut kribo kaya rastafara, sengaja membiarkan rambutnya mengembang lepas. Biasanya sih rambutnya diiket a-la jamur merah-ijo yang ada di game Mario Bros. Aku nggak tahu juga, kenapa sejak menginjak bumi Jogja ini semangatku hilang lenyap seperti ditelan bumi. Yang pasti, aku merindukan dia yang hilang 4 tahun lalu...

Tempat pertama yang kami kunjungi, yang katanya sekolah teater terbesar di Jogja, ternyata bentuknya jauh dari kesan sekolah dengan pintu pintu besar dan jendela jendela tinggi. Sekolah teater ini tempatnya hanya berupa pendapa besar, tempat tempat terbuka luas yang dinaungi pohon pohon beringin yang rimbun, serta panggung batu yang mungkin biasa digunakan sebagai tempat pertunjukan para siswanya. Waktu rombongan kami datang, ada beberapa orang yang berlatih teater di panggung batu. Yang satu, laki laki gendut setengah tua, dengan rambut keriting gondrong diikat satu asik berkeliling panggung sambil bertelanjang dada. Sementara satunya, seorang perempuan muda dengan kulit coklat muda terbalut kaos hijau natal dan celana cargo selutut bertelanjang kaki dan rambut panjang yang digelung menyerupai rumah keong nampak mengimbangi gerakan gerakan spontan yang dilakukan partner gondrongnya. Sekilas, apa yang mereka sajikan lebih nampak seperti tarian buatku. Apalagi ditambah iringan musik dan nyanyian melengking dari beberapa orang sinden yang duduk di pinggir panggung.

Lagi lagi, semuanya mengantar aku pada muara yang sama. Kerinduan yang dalam atas cintaku yang hilang. Dan dua orang di atas panggung itu menarikannya dengan sempurna. Tanpa sadar aku terhipnotis gerakan mereka berdua. Aku berdiri mematung didepan panggung batu, seolah menantikan kejutan kerasnya terjangan arus emosi mereka yang terpadu menjadi sebuah mahakarya. Aku sadar, ada sesuatu yang membius aku disana. Tapi aku belum tahu, apa...

“Wis wis, mandeg sik nduk. Iku, ana sing nomblong saking serune nonton performance art-mu...” tiba tiba pemain yang gondrong menghentikan acaranya.
“Hahaha... wis sering kok pakdhe, aku ditonton koyo ngono... berarti aku wis pantes ngaku performer to?”
“Wis, karepmu lah nduk... Iki, ngombe dhisik. Pakdhe tak nemoni fans-nya pakdhe dulu.” katanya sambil mengambil sebotol soda dari pinggir lapangan, lalu melemparkannya pada pemain perempuan yang ada di tengah lapangan. Hap! Botol soda itu mendarat dengan mulus ditangannya tanpa perlu ancang ancang khusus. Seperti sudah ada ikatan yang nggak nampak yang terjalin erat diantara mereka berdua.
“Ngaso sik yo!” pemain perempuan itu turun dari panggung, berjalan ke arah yang berlawanan dari arahku berdiri. Aku masih terpekur memandangi punggungnya yang hampir hilang di tikungan saat Miko datang dan menepuk keras pundakku.
“Nah yaaaa... Katanya mau nyari cintanya yang hilang di Jogja... Belom juga seharian, nggak taunya sekarang malah mantengin pemain teater... Iya, tau, pemainnya keren kok. Seksi abis, kaya Agnes Monica versi kurus dan agak tinggi...”
“Ah, ngaco...” aku berusaha mengelak. “Aku cuman terpesona sama performance mereka tadi di atas panggung...”
“Alaaah, alesan. Kalo emang nge-fans, langsung aja. tuh anak anak pada wawancara sama pemain cowoknya di pendopo. Eh, kalo aku sih lebih nge-fans ke pemain ceweknya. Seksi bohai gilaaaa...” Miko menarik tanganku menjauh dari tempat itu. Benar juga, waktu aku sampai di pendopo, beberapa anak sudah mengerubuti laki laki setengah tua itu sambil sibuk tanya tanya ini itu. Ternyata orang ini toh, ‘kepala sekolah’ disini. Penampilannya di panggung sama diluar panggung ternyata beda sekali. Kalo diatas panggung tadi sepertinya beliau penuh penjiwaan, kalo disini sepertinya beliau adalah orang yang santai. Jauh sekali dari kesan seniman, kecuali untuk rambut gondrong dan badannya yang separuh terbuka, tentunya.

“Pak, itu tadi siapa sih yang main teater sama bapak diatas panggung?” akhirnya pertanyaan itu nyeplos juga dari mulutku. Orang yang kupanggil pak itu langsung menoleh ke arahku, sambil terkekeh pelan.
“Hehehe... Kowe mau sing ndomblong ning nggon ngarep panggung mau ya? Kuwi mau ponakanku. Pelatih terater. Meh kenalan po?” kata bapak itu terang terangan, yang disambut teriakan ‘Huuuuu!’ keras dari teman temanku.
“Ora popo nek meh kenalan. Tak celukno. Le le, celukno Abe ning ngguri panggung yo!” bapak tadi menyuruh seorang muridnya yang kebetulan duduk duduk deket situ buat manggil partner performance-nya tadi. Mendengar nama Abe disebut, sekali saja, sudah cukup membangkitkan rasa rinduku yang memburu. Bayangan tentang Abe-ku, peri cantik berkulit pucat yang kutemui di lorong kelasku waktu SMA, kembali menari nari di benakku. Dan bayangan itu seolah jadi nyata begitu ‘Abe’-nya bapak tadi berjalan pelan menghampiri kerumunanku.
“Napa pakdhe?”
“Kuwi lho, ana mahasiswa saka Suroboyo pengen kenal kowe...”
“Sinten nggih?”

Cukup. Aku sudah tahu siapa dia. Dia Abe yang tercerabut dari duniaku 4 tahun lalu. Matanya, senyumnya, bicaranya masih sama. Walaupun rambut panjangnya nggak lagi terurai lepas. Walaupun kulitnya nggak lagi pucat. Walaupun seragam SMA dan ransel itu nggak menempel lagi di tubuhnya...

“Abe...” aku menggumam pelan. Dan Abe menoleh ke arahku.
“Mmmm... Randy...”katanya sambil mengrenyitkan dahi. “Ini Randy kan? Temen SMA aku...” Abe tersenyum, sambil menepuk pundakku. “Gimana kabar? Kuliah ya sekarang... Wah, lama gak ketemu, tambah keren aja kamu...”
“Iya. Kamu gimana kabar? Kenapa tau tau ngilang dari sekolah? Kata guru BP kamu pindah ke Jogja. Kenapa nggak ninggalin alamat atau apa gitu. Kamu nggak kasian sama aku yang nyariin kamu. Kenapa kamu nggak cerita apa apa sama aku kalo kamu mau pergi... Setidaknya ngasih aku nomer hape kek. Aku kangen tahu...” spontan aku menarik Abe kedalam pelukanku. “Kamu tuh jahat sama aku. Kamu nggak ngasi aku kesempatan buat minta maaf. Buat ngomong sama kamu. Buat bilang kalo aku sayang sama kamu...” aku nggak peduli lagi sama temen temen kampusku yang menatap penuh keheranan, atau pakdhe-nya Abe yang bingung dengan reuni kami yang tiba tiba. Yang aku tahu, aku merindukan Abe. “Aku tuh suka sama kamu Abe... Dari SMA. Aku sayang sama kamu. Sampe sekarang...”
“Maaf...” aku bisa merasakan bahu Abe berguncang pelan dalam pelukanku. “Maaf kalo aku tau tau hilang dari duniamu. Maaf aku nggak meninggalkan jejak apapun buat kamu. Aku juga suka sama kamu. Sejak pertama kali ketemu. Pas kamu nginjek kakiku di koridor... Tapi temen temenmu kan nggak suka sama aku. Mereka sering ngomong yang aneh aneh kan soal aku... Jadi aku pikir akan lebih baik buat aku kalo aku pergi tanpa ninggalin jejak, dan berharap akan ada seseorang yang mengikuti jejakku. Aku nggak mau kecewa kalo nyatanya nggak ada yang nyari aku. Jadi sejak papaku yang pengangguran sama mamaku yang game addict pisah, aku ikut kakakku tinggal disini...” mendadak semuanya serba jelas buat aku. Tentang tulisan tulisan itu. Tentang bekas luka di badannya waktu itu. Tentang sikapnya yang aneh dan cenderung penyendiri. Bodoh, aku kan sudah pernah mengalami hal yang sama, kenapa aku nggak nyadar dari dulu...
“Nggak papa kok... Biarpun lama, aku yakin Bumi akan mempertemukan kita kembali kaya gini... Dan kalo waktu itu datang, aku tahu aku nggak boleh diam...”
Pelan tapi pasti, aku merasakan pelukan hangat lengan Abe di punggungku...
>> END <<

Buat Randy: dimanapun kamu, maaf aku nggak pernah bilang aku juga sayang sama kamu. Semoga kamu menikmati hidupmu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar