Minggu, 09 Januari 2011

untitled3


... Lalu, jadilah pagi setengah siang itu. Dengan musik mengalun pelan (bukan lembut, musiknya aja nge-beat) dari laptopku, aku memandangi badanku yang hampir polos di depan cermin. Persis pemeriksaan fisik lengkap di dokter. Sayangnya disini nggak ada dokternya. Sebentar kemudian, aku sudah sibuk memelototi badanku sendiri dari ujung kepala sampe ujung kaki. Hmm, nyaris nggak ada lekuknya. Kulitku juga belang. Yang ketutupan kulitnya putih mirip Cina. Yang nggak ketutupan, coklat mateng kaya separo Afrika. Mataku masih lebar, dengan payung bulu mata yang melentik cantik ke atas. Bibirku masih penuh, dengan warna merah gelap yang bernuansa darah. Tulang tulang di badanku juga masih kelihatan jelas, tipikal badan model ‘kucing berjalan’ (catwalk) gitu lah, cuma kurang tinggi aja. Bau segar sabun masih menguar dari badanku. Maklum, aku habis mandi. Lalu mataku tertuju ke bekas jahitan yang masih nangkring di atas tulang pinggul sebelah kiriku. Bekas jahitan 2 tahun yang lalu.

Malam sebelum puasa, aku ingat. Karena kecerobohan kami berdua (aku dan adik kelasku di SMA yang bodoh), kami saling bertabrakan. Untungnya kami berdua masih hidup. Adik kelasku, cowok, hanya patah kaki. Sementara aku, cewek, lukanya dimana mana. Dari kepala sampe kaki. Itu kecelakaan pertama yang melukai wajahku. Bibirku robek, sedikit. Tapi nggak dijahit. Untungnya badanku cukup fit untuk memulihkan keadaannya sendiri dalam waktu yang (menurut dokter) sangat cepat.

Aku masih mengingat jelas semua kejadian itu. Aku kecelakaan di jalan depan sekolahku. Helmku terpental, jatuh ke sungai. Motorku jatuh ke kanan, ke rerumputan yang menyemak di sisi sungai. Sementara aku sendiri, jatuh ke arah kiri. Ke aspal baru yang langsung memarut kulitku. Aku nggak ingat lagi gimana kerasnya tabrakan kami. Yang pasti, setelah tabrakan itu, banyak orang yang datang menolong. Adik kelasku laki laki ditolong guruku yang, nggak tahu kenapa, udah jam 10 malem ini masih ada di sekolah. Sementara aku, (sialnya) ditolong beberapa orang yang asik mabuk mabukan di warung deket halte sekolah. Cowok semua lagi. Ada 5 orang-an lah, kalo aku nggak salah ingat.

Motorku yang footstep-nya bengkok langsung dibawa ke bengkel deket situ. Sementara aku-nya yang sudah berdarah darah dibawa ke tempat mereka. Lukaku dibersihkan pake air, terus disiram dengan alkohol. Jadilah mereka yang setengah mabuk itu kehabisan minuman gara gara berebutan disiramkan ke badanku. Ah, udah mabuk juga masih bisa liat cewek.

Sebenernya perih, sih, waktu mereka nyiram lukaku pake alkohol. Tapi bisa tahan kok, walaupun sambil meringis. Lucunya, waktu itu ada seorang cowok, yang belakangan aku tahu namanya ‘bebek’ berusaha jadi pahlawan kemaleman. Dengan pandangan yang udah nggak fokus, dia berusaha meluk aku supaya aku mengalihkan pandanganku dari lukaku yang masih ‘diobati’. Tapi bukannya bikin aku tenang, yang ada temennya malah histeris ngeliat bajunya yang penuh darah(ku). Dikira dia abis berantem atau kecelakaan juga. Dasar orang mabuk.

Tapi, aku seharusnya berterima kasih sih sama mereka. Setelah mereka merelakan minumannya habis di badanku, salah satu dari mereka yang paling nggak mabuk juga bersedia nganterin aku pulang. Sementara runner up yang paling sadar mau bawain motorku pulang. Jadi, aku dibonceng sama yang yang satu pake motornya, sementara yang lain ngikut di belakang sambil bawain motorku.

Sampe sini, masih ada juga ulah mereka yang kalo aku inget inget sekarang masih bisa bikin aku pengen ketawa. Ceritanya, cowok yang bawa motorku itu tadi kebelet pipis. Sampe di perumahan yang sepi (waktu itu udah hampir setengah 12 malem) dan gelap, dia minta berenti, pamit mau pipis. Waktu temennya pipis, cowok yang boncengin aku mendadak memutar badan ke belakang, lalu sok sokan ngeliatin bajuku yang udah sobek disana sini. Tapi lucunya, makin lama mukanya makin deket sama mukaku. Kaya mau cium aku gitu. Aku nggak bodoh tentunya. Dengan santainya aku bilang ‘kamu mau cium aku ta? Gak papa kok, cium aja. Tapi pelan pelan ya, bibirku sakit. Hati hati ketelan darahnya.’ Setelah aku ngomong gitu dia sadar, terus langsung balik badan dan diem aja sampe temennya kembali dari pipis. Terus kita jalan lagi. Ihihi, untung aja bibirku robek. Kalo enggak, bisa abis deh aku disana.

Hmm, aku jadi senyum senyum sendiri sekarang. Itu memang bukan kecelakaan pertamaku. Itu kecelakaan yang ke sekian. Ke sekian belas, mungkin, kalo ditambah kecelakaan lainnya. Mulai dari jatuh dari sepeda, jatuh dari pohon, jatuh dari tangga lengkung (mainannya anak anak TK), sampe jatuh dari lantai 2 sekolah SD-ku yang dulu belum selesai dibangun. Kebayang kan, gimana bandelnya aku dulu. Aku sendiri juga nggak pernah ngebayangin kalo suatu saat aku bakal jadi perempuan seperti ini. Perempuan yang sangat peduli dengan penampilan, dibungkus pakaian pakaian cantik, minim, dan rapi. Make up dengan warna warna segar. Penampilan yang selalu terjaga... Hal yang, dulu, dibayangin bakal kaya gini aja enggak. Aku nggak pernah nyangka, suatu saat aku akan terbangun dan menyadari bahwa aku ini berbeda. Aku eksotis, katanya. Badanku artistik, senyumku menggoda, mataku menentang, dan kalo semuanya digabung, jadilah seorang perempuan yang sangat menarik. Aku jadi ngebayangin Cleopatra. Seperti itu kah gambarannya? Ih, lebai deh...

Pelan, aku melangkah pergi menjauhi cermin sebadan yang terpasang di ruang tamu rumahku. Aku enggan membayangkan apa yang akan terjadi di tikungan selanjutnya. Aku takut membayangkan akan jadi seperti apa aku nantinya, atau akan bagaimana aku pada akhirnya. Jalani aja dulu. Semuanya akan berubah pada waktunya, kok. Seperti ini...

Potongan cerita ‘Cinta Kopi Susu’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar