Minggu, 09 Januari 2011


Hujan hampir lalu. Sha masih setia dengan fruit punch dan batang rokoknya yang ke tiga. Jenedela yang muram, yang setia merekam bias ibukota, masih bisu disampingnya. Sementara jam putih yang melingkar manis dipergelangan tangannya masih terus berdetak, berkejaran dengan waktu yang memburu. Sha menunggu, tapi tetap diam. Beberapa pasang mata yang sejak tadi melekati langkahnya juga tak diacuhkannya. Pandangannya yang beku jatuh di sudut jendela....

“Sha, sudah lama?” seorang laki laki setengah baya dengan penampilan bak eksekutif muda menghampirinya.
“Mmm, lumayan...” Sha menjawab pelan, dengan senyum tipis yang dipaksakan.
“Maaf ya lama, di luar hujan. Jadi macet deh...” si eksmud, tanpa sungkan mendekap tangan Sha dalam genggamannya. Tangan Sha dingin. Tangannya juga dingin. “Aduuh, dingin banget tangan kamu. Ujan ujan pesen fruit punch sih. Alcoholic lagi... Gak mau nunggu aku aja...”
Sha diam. dia juga diam. lama. Sha menunduk. Dia berusaha menatap matanya. Nggak lama. Sha tersenyum seklias, lalu menarik tangan dia keluar dari cafe. Mereka menghilang di tikungan.

“Aku suka kaos kamu Sha...” dia berusaha membuka omongan. “Aku suka kamu kalo pake kaos item lengen panjang kaya gitu. Kulitmu yang coklat muda kelihatan mengkilap... Bikin aku pengen aja... Abis, kaya tumpahan madu gitu sih... Apalagi leher jenjang kamu... Mmmm...” dia membelai ringan rambut halus yang jatuh di tengkuk Sha. Rambut panjang Sha memang sengaja diikat tinggi di atas kepala. Sha nggak pernah suka mengumbar simbol simbol keperempuanannya di depan umum... “Tapi kamu dingin Sha. Kamu beku. Kaya batu...” kalimat terakhir dia menggantung di udara yang pekat massa. Sha enggan menjawab, kecuali menaikkan sedikit sudut bibir pink-nya yang pucat ditimpa penerangan seadanya.

Jarum jam sudah merangkak ke angka 10 ketika akhirnya sedan mewah keluaran tahun 2008 yang ditumpangi Sha dan dia berbelok masuk ke parkiran apartemen dia yang sepi. Jalanan yang basah sehabis hujan selalu menguarkan aroma yang khas. Aroma yang mengandung kepasrahan yang liat. Dingin, tapi tidak beku. Diam, tapi tak sunyi. Aroma yang sangat Sha cintai...

“Sini sayang...” dia menuntun Sha melewati jajaran mobil mobil mewah yang terparkir rapi di parkiran basement. Tangan dia sudah agak hangat menggenggam tangan Sha yang masih sedingin batu. Lampu lampu sorot yang seadanya menimbulkan bayangan bayangan seram di lantai semen yang beku. Sejenak, muncullah bayang bayang hitam dari masa lalu. Sha yang cantik, dengan rambut panjang terikat dua, tertawa lepas dengan adik perempuannya. Kakinya yang luka tergores aspal tak penah menyurutkan kebahagiaannya. Tangannya yang perih teriris pisau tak pernah menghapus senyumnya. Kebahagiaannya. Dulu...

“Bentar ya, aku mau mandi dulu... kamu istirahat aja dulu...” dia langsung menyalakan lampu meja begitu lang masuk ke dalam kamar apartemennya. Hujan sudah reda sejak tadi. Tapi dinginnya masih terasa. Sha masih enggan tersentuh air, sementara dia malah dengan santai membasahi seluruh tubuhnya dengan air dari shower yang bersuara berisik di toilet sebelah. Sha membaringkan tubuhnya yang penat di ranjang hangat. Sebentar saja, alam mimpi sudah menariknya ke bagian paling dalam, paling kelam...

“Sha...” bisikan halus dia yang baru saja selesai mandi berhasil menarik keluar Lang dari lingkaran hitam yang mengikatnya di alam mimpi. Sha menggeliat pelan dibawah tindihan tubuh liat dia yang sengaja mengimpit badannya. Aroma wangi sabun yang menguar dari tubuh atletis dia langsung menyapa hidung Sha yang hampir menempel di dada si eksmud. “Mmmh... Bangun donk sayaaang...” dia masih asik memainkan bibirnya di telinga Sha. Sementara Sha hanya mengelak sambil memejamkan matanya. Ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya disana. Rasa sakit yang tiba tiba hadir dan melukainya. Entah dari mana...
“Maaf...” akhirnya dia mengangkat tubuhnya dari tubuh sha. Matanya yang penuh cinta menatap sayang padanya. “Aku nggak akan memaksamu melakukan apa yang nggak kamu mau kok... Kamu tahu kan kalo aku sayang sama kamu...” dia menggumam pelan sambil menatap hamparan karpet coklat tua dibawah kakinya. Tangannya yang hangat berusaha menggenggap tangan dingin sha. Nggak ada tanggapan. Malah mata Sha yang sekarang berkaca kaca. air matanya hampir tumpah, tapi mati matian ditahannya.
Pelan pelan dia itu membaringkan tubuhnya disebelah tubuh sha. Ada rasa yang ingin dibaginya disana. Tapi perih itu masih ada. Sentuhan kulit hangat dia di pundak Sha yang dingin mengagetkannya. sha mengeratkan dekapannya ke tubuh mungilnya. Sementara dia yang habis akal akhirnya menarik tangan Sha yang memeluk tubuhnya. “Jangan peluk badanmu sendiri. Aku nggak suka kamu kaya gitu. Kamu boleh peluk aku kalo kamu pengen memeluk sesuatu. Tapi jangan badanmu. Aku tahu itu akan melukaimu...” Sha diam saja saat genggaman dia menarik tangan sha ke belakang lehernya. “Aku janji aku nggak akan menyakiti kamu...” air matanya leleh disana.

“Aku harus pergi...” dengan lembut Sha menarik tangannya yang sejak tadi melingkar di leher dia yang bertelanjang dada. Selimut yang sejak tadi menutup badannya tersingkap, menunjukkan keindahan tubuh Lang yang terbuka. Dia hanya bisa menatap pedih padanya.
“Perlu aku antar? Ini masih terlalu pagi untuk kamu pergi sendiri. Atau kamu mau tunggu sampai agak nanti...” tawaran itu diacuhkannya.
“Aku harus pergi. Sekarang.” Kata kata yang dicapkan dengan pelan dan agak memaksa itu tak mampu dilawannya. Dia terpaksa membiarkan Sha berlalu dengan lukanya.
“Oke. Kamu bebas pergi kemana aja kamu suka. Tapi, kamu tahu kan kemana harus mencariku kalo kamu butuh sesuatu. Kamu tahu aku selalu ada buat kamu...”
Senyum tipis Sha. Itu hal terakhir yang dilihatnya sebelum Lang akhirnya menghilang dari dunianya. Selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar