Minggu, 09 Januari 2011

percobaan1

Senja lainnya, hujan yang sama.
Hujan yang pertama kali mengantar aku kesini, dan hujan yang selalu menuntunku kembali.
Hujan yang mempertemukan aku dengannya, juga hujan yang memisahkan aku darinya.
Hujan yang sama, yang mengantarku kemari. Ke tempat dimana aku rela berkendara ratusan kilometer dua kali setiap tahunnya, untuk mengenang saat pertama kali kami bertemu, dan saat akhirnya kami berpisah.

Namanya Bintang, sedang namaku Kenanga. Kami berdua sama sama terjebak hujan sore itu. Dan entah bagaimana (anggap saja aku lupa), akhirnya kami saling menyapa.

Bintang sedang berusaha mengusir sakit hatinya saat tiba tiba hujan mengguyurnya sore itu.
Sementara Kenanga tak tahu harus kemana, saat guncangan keras itu menghancurkan tembok pertahanan yang susah payah dibangunnya beberapa tahun terakhir ini.

“Kenanga. Baumu lembut seperti tanah sehabis hujan.” Samar samar aku mendengar gumamnya. Baru kali ini ada orang yang memujiku seperti itu, kalau itu tadi sebuah pujian. Biasanya orang akan memuji kulitku yang sehalus pualam, tubuhku yang indah, rambutku yang hitam, apapun, selain aroma tubuhku yang memang selalu beraroma lembut. Aku tak suka aroma yang terlalu keras karena entah kenapa hidungku sangat peka terhadap bau bauan seperti parfum.

Sejak saat itu, entah berapa malam telah kami habiskan bersama. Melakukan apa saja. Kebut kebutan di jalan tol kemudian berhenti di sisi kelam lalu menerawangi malam. Kami juga suka menghitung titik hujan saat senja jatuh dan langit kelam.

Kami memang asing satu sama lain, tapi toh itu tidak membuat kami akhinya saling menjauh.
Aku tak pernah ingin mengikatnya, karena aku tahu aku sudah menggenggam hatinya.

Tapi, Kenanga tetap Kenanga. Sementara Bintang hilang saat Fajar datang, Kenanga masih terjaga di ujung pagi. Menghitung rindu yang jatuh dari kepak sayap merpati. Menghitung cinta yang rontok dari dahan dahannya.

Senja ini, hujan yang sama.
Kenanga masih menekuri fruit punch yang sejak tadi terhidang di mejanya. Mendadak bayangan Bintang muncul disisi gelasnya. Entah kenapa, Kenanga masih ingin berlama lama dengan bayangannya.

Lalu malam jatuh, dan bintang muncul disana.
Kenanga diam. bintang diam. sementara mata mata mereka yang saling tertaut dalam tatapan menghamburkan kata kata. Hanya kata kata, bukan air mata yang sudah sekian lama disimpan kenanga untuk bintang. Bintang yang pernah disangkanya hanya miiknya. Hanya kenanga yang tahu betapa sakitnya menunggu tanpa sebuah kepastian sekian lama. Hanya kekanga...
“Kenanga, aku menunggumu di sisi malam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar