Minggu, 09 Januari 2011

untitled2

“Aku lelah...” kataku sambil merebahkan badanku diatas hamparan pasir Segara Mertha. Angin laut menghebus ringan rambutnya yang dibiarkan berantakan. Kaos longgar dan boxer-ku tidak mampu menutup tubuhku dengan sempurna, tapi aku nggak peduli. Dhika melirik sedikit ke arah clavicula-ku yang nampak jelas dalam posisiku yang seperti itu. Dhika terkekeh pelan, lalu menyenggol pundakku.

“Kamu jelek kalo kaya gitu...” katanya. “Kaya anak ilang tau nggak...”
Aku manyun sedikit ketika Dhika menertawai sendiri kata katanya. Aku suka matanya yang menyipit lucu setiap kali dia tertawa. Mau tak mau aku ikut tertawa bersamanya. Sebentar. Lalu aku kembali larut dalam dunia kecilku.

Sebentar kemudian Dhika sudah sibuk mengutak atik D70 tua yang selalu dibawanya kemana mana. ‘Ini soulmate-ku,’ katanya sebal setiap kali aku menghina D70-nya. ‘Aku kenal dia jauh lebih lama sebelum aku kenal kamu...’
Sesekali Dhika mengarahkan lensanya ke wajahku. Aku lebih suka berpura pura tidak tahu. Aku suka menikmati waktu kami berdua dengan cara seperti ini. Dengan membiarkan waktu berkejaran disekeliling kami. Dengan membiarkannya mengalir tanpa berhenti. Tanpa perlu memikirkan kemana muaranya. Tanpa perlu tahu semua hal yang lebih rumit daripada saat yang kami punya saat ini.
***

Dhika itu teman kecilku. Usianya 3 tahun lebih tua dariku. Kami berkenalan di sore hari yang riuh, di pinggiran pantai ini. Saat itu, papa yang baru saja berpisah dengan mama mengajakku pindah ke pulau dewata. Aku sedih. Aku selalu menangis setiap kali aku merindukan mama. Sore itu aku kembali menangis sendiri di tangga depan rumahku, karena aku kembali ingat mama. Aku ingin pulang saat itu. Lalu tiba tiba Dhika muncul didepanku dengan sepeda gunung-nya.

“Halo...” katanya saat itu. Senyumnya yang tulus langsung menghentikan tangisanku. “Namaku Dhika. Kamu siapa?”
Seperti tersedot kedalam pusaran waktu yang berbeda, aku menyambut tangannya yang dilurkan padaku. “Aku Sinta...” jawabku sambil mengusap air mata.
“Kamu yang baru pindah kemarin ya?” tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan. “Rumahku disitu...” katanya sambil menunjuk ke arah laut lepas di belakang rumahku.
“Rumahmu di laut?” tanyaku polos. Dhika langsung mengangguk lugas.
“Aku peri laut. Aku kesini karena aku dengar tangisanmu.” Katanya, masih dengan nada yang ceria. “Ayo, aku ajak kamu jalan jalan naik sepedaku!”

Tanpa perlu waktu yang lama, Dhika menjadi sahabatku. Sejak itu, setiap sore Dhika selalu main ke rumahku. Mengajakku bersepeda menyusuri pantai, mencari pecahan kerang warna warni, menghitung bintang, hingga memandangi hujan dan amukan badai di laut di belakang rumahku.

“Kalo kamu peri laut, boleh aku jadi peri hujan?” tanyaku suatu ketika, saat hujan mengurung kami duduk berdua sambil menikmati coklat hangat di dapur rumahku.
“Boleh...” katanya. “Kalo aku peri laut dan kamu peri hujan, kita bisa berdua selamanya seperti ini...” katanya sambil menggenggam erat jemariku. Aku berumur 9 tahun saat itu.
***

“Peri laut!” kataku, sengaja mengagetkannya.
“Iya, peri hujan?” jawabnya nggak mau kalah. “Kenapa?”
“Aku mau main disana dulu ya...” kataku seraya bangkit dan berlari ke arah lautan biru gelap yang selama bertahun tahun menjadi dunia kami berdua. “Aku mau main air!” kataku sambil melemparkan kaosku ke arahnya yang masih duduk termenung diatas batu. “Yihaaa! Aku suka laut. Mestinya aku yang jadi peri laut, kamu yang peri hujan!” teriakku kegirangan saat deburan ombak menjilat kakiku yang telanjang. Aku terus saja berlari berputar putar kalau saat itu Dhika nggak mencegatku dengan kaosku ditangannya.

“Hei, kamu udah besar. Gak boleh lari larian telanjang dada gitu. Kaya pemain bola aja. ntar kalo diliat orang gimana?” katanya sambil memelototiku.
“Nggak papa. Ini kan private place. Nggak ada yang bisa masuk kesini. Wek!” kataku sambil menjulurkan lidahku dan berlari pergi.
“Apa kamu kira aku bukan orang?” dengan enggan Dhika berusaha mengejarku. Aku terus berlari dan tertawa, sampai akhirnya Dhika berhasil menangkap lenganku dan memaksaku mengenakan lagi kaos kedodoranku.

“Kok ada perempuan kaya kamu...” Dhika mulai menggerutu. “Untung kamu temenku. Kalo bukan, aku kabur kali kalo liat kamu kaya gini...”
“Biar...” jawabku. “Aku nggak mau tumbuh dewasa. Aku nggak mau berakhir jadi orang yang kesepian seperti papa. Aku nggak suka...” mendadak mataku basah. “Papa pasti merindukan mama... Aku juga... Aku kangen mama...” aku mulai meringkuk, memeluk lutut sambil meletakkan daguku diatasnya. “Mestinya Papa nggak perlu pisah sama Mama. Karena mereka, aku nggak pengen jadi dewasa...”

Lama. Dhika duduk diam disampingku. Lama. Kami nggak berkata kata. Hanya suara nafas kami terdengar lirih ditelan debur ombak samudera.
“Jangan pernah berpikir seperti itu...” suara Dhika terdengar berat memecah kesunyian. “Aku nggak pengen kamu terus terusan terjebak dalam kenangan masa kecilmu. Aku pengen kamu tumbuh dewasa. Aku pengen kamu jadi Sinta yang dewasa. Karena aku suka sama kamu...”

Pelan, Dhika mengecup lembut bibirku. Air mataku menggenang.
“Ih, dicium aja pake nangis segala...” Dhika sengaja berkelakar untuk memancing tawaku. Aku tersenyum tipis, lalu mendekap lengannya yang hangat di dadaku. Usiaku 15 tahun saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar