Minggu, 09 Januari 2011

dunia kecil freya


Namaku Freya. Sejak kecil, aku tidak mendengar, juga tidak bicara. Tapi aku suka menggambar. Selama ini begitu lah caraku berkomunikasi. Aku bisa menggambar apa saja yang aku suka seharian penuh, nggak peduli papa yang berkacak pinggang sambil melotot disampingku, atau Bruno yang menjilat jilat mesra wajahku.

Umurku 17 tahun minggu lalu. kata papa, usia 17 tahun adalah usia yang spesial. Usia dimana aku seharusnya berpindah kedalam dunia yang lebih dewasa, dunia yang tentunya akan lebih sulit dari dunia anak anak yang aku miliki sebelumnya. Aku sempat mem-protes papa karena aku nggak ingin kehilangan duniaku yang sekarang, tapi papa bilang itu terjadi secara alami. Tidak ada satu orang pun yang tidak mengalaminya. Tidak terkecuali mama yang sudah tenang di surga.

Aku ingin tahu, apa yang mama pikirkan di uang tahun ke 17-nya. Pasti mama memikirkan jauh lebih banyak hal dibandingkan aku. Aku memang nggak pernah mengenal mama lebih jauh dari foto foto dinding atau catatan catatan mama di buku harian yang ditinggalkannya untukku. Kata papa, mama pergi untuk menggantikanku menemani Tuhan di surga. Setiap kali ada satu kelahiran, disitu juga ada kematian, kata papa. Aku jadi ingin tahu, apa Tuhan begitu kesepian sehingga meminta mamaku yang cantik menemaninya disana. Mestinya Tuhan tahu, kalau disini aku juga menginginkan punya mama seperti kebanyakan anak lainnya.

Senja hampir tiba di pantai Dreamland yang berbatu. Beberapa turis berkulit kemerahan nampak sedang membereskan papan surfing-nya masing masing sambil berlalu. Sementara anak anak pantai sibuk sendiri dengan seorang gadis muda yang menyediakan pundaknya diberi warna. Aku suka membiarkan kaki atau punggungku diwarna sesekali. Tapi nggak hari ini. Hari ini aku ingin berjalan jalan saja menghabiskan sore-ku yang berharga dengan Bruno yang setia menjajari langkahku.

Aku jadi merindukan Odin dan teman temannya, anak anak pantai dengan kulit legam, rambut gimbal dan senyum yang ramah. Aku ingat mereka selalu memanggilku Ariel, seperti nama seekor putri duyung dalam dongeng yang rela menukarkan suaranya demi sepasang kaki untuk berjalan menjajari pangerannya. Aku bilang pada mereka bahwa aku jauh lebih beruntung dari Ariel. Aku punya sepasang kaki untuk berjalan tanpa perlu menukar apa apa pada penyihir jahat dalam lautan. Mereka tertawa mendengar jawabanku. Aku ikut tertawa, walaupun aku nggak tahu apa yang lucu dengan pernyataanku. Yang jelas, aku senang punya teman seperti mereka.

Senja hampir berlalu. Lautan tenang yang semula biru kini menjadi merah, dan dengan segera beralih kelabu. Langit agak kurang bersahabat beberapa hari ini. Aku beruntung berhasil mengabadikan beberapa senyum mentari yang hampir pulang ke peraduannya. Dari kejauhan aku melihat papa yang melambai ke arahku. Aku harus kembali sekarang. Aku merasa senang sekali hari ini. Walaupun duniaku sunyi tanpa suara, dunia kecilku ini tetap berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar