Minggu, 09 Januari 2011

untitled4


“Anna... Ibu minta sekaliii ini aja, dengerin ibu ya nduk... Ibu ndak pengen minta banyak sama kamu. Ibu Cuma pengen kamu bahagia. Ibu pengen kamu menjalani kehidupan yang normal dan wajar kaya yang lainnya... Ibu pengen kamu tumbuh dewasa...” pelan, ibu membelai lembut rambut cepakku. Aku bisa menangkap nada kesedihan yang ditahan dalam suaranya. Aku masih diam. “Apa sih nduk yang kamu cari dalam hidupmu? Apa lagi sih yang kurang? Apa sih yang ibu sama bapakmu nggak kasih buat kamu... Semua yang kamu minta, semua yang kamu mau, pasti ibu bapak kasih buat kamu...”

“Hhhh,” aku mendesah pelan. “Bu, aku pengen hidupku sendiri. Aku sudah dewasa bu. Aku pengen menjalani pilihanku sendiri. Aku nggak mau diatur atur kaya anak kecil. Ibu nggak tahu apa yang terbaik buat aku...” sekuat tenaga aku berusaha menahan geramku. Mataku panas, tapi aku nggak mau menangis di pangkuan ibu.

“Iya Anna. Ibu tahu kamu sudah dewasa. Ibu tahu kamu mandiri. Ibu tahu kamu nggak suka diatur. Tapi sekaliiii ini aja. ibu pengen kamu nurutin ibu. Ibu pengen kamu menerima pinangan Mas Bayu. Kamu tahu kan kalo mas Bayu sayang sama kamu. Lagipula apa sih yang kurang dari dia? Sudah kaya, pekerjaannya mapan, ganteng, pengertian lagi...” panas kupingku mendengarnya.

“Bu, aku nggak pengen menikah. Aku nggak pengen menikah, terutama sama mas Bayu. Aku sudah sering bilang kan kalo aku nggak suka sama dia. Mas Bayu bukan laki laki yang tepat buat aku...” aku semakin kuat menahan geramku. “Mungkin buat ibu sama bapak mas Bayu cowok yang baik, sempurna. Tapi dia tetep nggak sempurna didepanku, Bu!”

“Anna...” ibu masih berusaha menahan marahnya terhadapku. “Apa sih kurangnya mas Bayu buat kamu? Ibu nggak pengen kamu menikah sama oom oom kaya, jadi istri ke-sekian. Ibu juga nggak pengen kamu nikah sama laki laki blo’on kaya Putra, tetangga kita. Ibu pengen kamu dapet cowok baik baik kaya mas Bayu. Hidup kamu pasti terjamin sama dia. Percaya nduk, ibu tahu yang terbaik buat kamu... Ibu tahu, kamu mungkin nggak bisa melupakan kejadian itu. Ibu tahu kamu terpukul sekali. Tapi Mas Bayu mau nerima kamu apa adanya nak. Lagipula, mau sampai kapan kamu kaya gini...”
Stop, batinku keras. Ibu nggak pernah tahu apa yang terbaik buat aku.

“Bu...” aku berusaha mempertahankan nada suaraku serendah mungkin. “Jonah kurang apa sih sama ibu? Jonah udah kasih semua yang ibu mau. Ibu pengen jonah jadi penari, Jonah turutin. Ibu pengen Jonah masuk kelas akselerasi, Jonah turutin. Ibu pengen jonah berprestasi, Jonah turutin. Ibu pengen jonah ngasi semua kebahagiaan yang Jonah punya buat ibu sama bapak, jonah turutin. Sampe Jonah kehilangan semua yang Jonah punya, Jonah rela buat bapak sama ibu. Sekali ini aja, bu... biarkan Jonah menentukan jalan Jonah sendiri. Jonah udah gede bu, Jonah tau apa yang terbaik buat Jonah...” kalimat terakhirku membuat ibu menangis. Sakit, memang. Tapi ini yang terbaik buat aku.

“Bu, Jonah nggak minta banyak kok sama ibu. Jonah cuma pengen ibu biarin Jonah memilih apa yang Jonah mau. Jonah nggak pengen ngecewain bapak ibu. Jonah sayang sama bapak, sama ibu. Tapi kali ini Jonah mohon...” kataku sambil menggenggam kedua tangan ibu. “Jonah pamit. Jonah janji Jonah bakal pulang suatu saat nanti. Jonah buktikan sama ibu, Jonah mampu...” kataku sambil meraih ransel, kunci motor dan helm-ku di atas meja. “Pamitkan Jonah sama bapak, ya, bu...”
***

Aku memacu kendaraanku sekencang yang dia mampu. Mataku masih panas dan berkabut, tapi aku nggak mau tahu. Aku nggak mau terus terusan jadi boneka ibu. Aku juga pengen punya duniaku sendiri. Dunia yang aku pilih untuk aku jalani...
Angin pantai yang berhembus kencang menghempaskan rambutku kesana-kemari. Aku nggak peduli. Aku butuh waktuku sendiri. Kepalaku terasa makin berat, saat sekali lagi kenangan tentang masa laluku terputar secara otomatis di otakku. Tentang masa kecil yang nggak pernah aku punya. Ibu pengen aku jadi penari. Ibu pengen aku ikut kelas akselerasi. Ibu pengen aku jadi anak kebanggaannya. Yang nilainya 100 terus. Yang bisa menari dengan lemah gemulai. Yang cantik dan feminim. Ibu marah sekali waktu tahu aku malah belajar beladiri, bukannya menari seperti yang dia mau. Bapak juga gitu. Sebenernya bapak pengen punya anak laki laki. Bukan anak perempuan seperti aku. Tapi nyatanya yang lahir aku. Dan jadlah aku anak kesayangan bapak. Yang belajar soal kelistrikan, yang belajar otomotif dan pertukangan, supaya bisa bantu bapak mengerjakan tugasnya. Aku rela rambut panjangku dipangkas habis kala itu, atau jari jariku tertusuk paku, demi sebuah senyum bapak yang jarang buatku. Aku rela membuang diriku sendiri, demi memenuhi keinginan mereka yang diletakkan di pundakku. Hingga saat itu, aku anak kesayangan bapak ibu. Aku juga kakak terbaik yang bisa dimiliki Mirna, adik perempuanku satu satunya yang selalu mengandalkan diriku. Hingga suatu ketika badai menghantam dunia kecilku yang nyaman dan sempurna.
***

Aku memejamkan erat kedua mataku, berusaha mengusir rasa sakit di bagian bawah tubuhku saat Oom Hans menahanku dibawah tubuhnya yang kekar. Air mata mengalir dari kedua sudut mataku, tapi Oom Hans nggak mau tahu. Dia sangat menikmati saat itu. Tangannya yang kasar menghapus air mataku begitu dia selesai melukaiku. Dengan cepat dia memakai kembali semua bajunya lalu meninggalkanku sendiri terisak dalam kamarku. Aku masih bisa mengingat jelas darah segar yang mengalir pelan dari selakanganku, serta beberapa memar di bagian tubuhku. Aku terus terisak, tapi nggak ada satupun yang mendengarku saat itu. Bapak nggak ada, begitu juga ibu. Dengan cepat aku mengunci kamarku. Aku nggak mau monster itu kembali kemari. Lalu setelah mengenakan kembali semua pakaian yang tadi ditanggalkan oom Hans dengan paksa, aku berusaha menghentikan air mataku. Rasanya pedih, hanya itu yang bisa aku ingat. Lebih pedih waktu akhirnya ibu sama bapak tahu apa yang sudah Oom Hans lakukan kepadaku. Keduanya marah, saling menyalahkan, saling menuduh, sementara aku terisak di sudut ruangan. Merasa seperti sebuah barang rusak yang sudah nggak lagi berharga di mata mereka.
***

Dengan kasar, aku menghapus air mata yang mulai mengalir lagi di pipiku. Aku nggak boleh mengingat hal itu, kataku dalam hati. Aku nggak mau bikin bapak ibu kecewa lagi sama aku. Aku nggak mau perlakuan bapak sama ibu berubah sama aku. Aku pengen jadi Joanna yang sama, yang disayang bapak sama ibu. Bukan Joanna yang lain...
Angin laut yang dingin menghembus pelan rambut cepakku. Dengan cepat ia mengeringkan air mataku. Semuanya nampak baik baik saja diluar, sementara luka di dalam masih merah terbuka. Aku nggak ingin tahu...

Pelan, mentari merah menyala bangkit dari peraduannya. Dengan cepat, malam berganti dini hari. Sementara keriuhan yang riang merebak di sekitarku. anak anak kecil ribut dengan aktifitas pagi mereka. Sementara para orang tua sibuk dengan perahu, jaring, serta hasil tangkapan mereka malam lalu. Aku masih tak beranjak dari posisiku, hingga sebuah sapaan dari seorang tua tak dikenal mengagetkanku.

“Nduk, kamu lihat mentari diujung sana?” katanya sambil menunjuk matahari yang merekah di batas cakrawala. “Seperti mentari yang nggak pernah bosan terbit tiap hari, seperti itu juga lah hari dan harapan baru yang nggak terbatas terbentang dihadapanmu. Yang kamu butuhkan cuma sebuah langkah kecil untuk mewarnainya dengan warnamu sendiri...”


Buat bapak sama ibu: maaf kalo aku mengecewakan kalian. Tapi aku akan lakukan semua dengan caraku sendiri.

Buat mas Bayu: maaf, kamu nggak bisa memiliki aku. Aku yakin, ada perempuan baik diluar sana yang bisa mencintaimu lebih dari aku.

^Jonah^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar