Minggu, 09 Januari 2011

Mereka

Kisahku dimulai dari sebuah masalah. Dan berakhir dengan lebih banyak masalah. Tapi aku nggak pernah menyesal. Bagiku, hidup itu pilihan. Bukan masalah juga kok, yang mencariku. Aku juga nggak mencari masalah. Ya, semuanya terjadi karena pilihanku. Pilihanku untuk berkata “Ya,” bukannya “Tidak.”
Siang itu, dengan kaos hitam dan ransel ukuran pendaki aku berangkat meninggalkan kotaku. Sementara saja. Aku sedang ingin mencari suasana baru. Menemukan diriku yang hilang juga, mungkin.

Namaku Rei. Aku hanyalah seorang petualang waktu yang terjebak dalam tubuh seorang perempuan muda yang cantik, namun berkepala keras seperti batu. Baginya, hidup hanya miliknya. Tidak ada satupun yang bisa mengikatnya, bahkan orang yang melahirkannya. Menguncinya sebentar, mungkin. Tapi tidak selamanya.

Aku nggak tahu apa yang membuatnya jadi sekalut ini malam itu. Matanya merah, sepertinya habis menangis. Make up yang sejak tadi sore dipulasnya dengan sangat hati hati juga sudah coreng moreng tak karuan, tapi sepertinya dia tidak peduli. Orang tuanya yang sejak tadi khawatir menunggunya kembali juga diacuhkannya. Sepatunya dilemparkannya begitu saja ke sudut ruangan. Mungkin karena masalah yang sama. Laki laki kecil itu, yang masih sekolah. Mungkin dia menyakitinya lagi. Tapi, jujur, belum pernah aku melihat dia semarah ini. Pasti dia disakiti dengan sangat buruk.

Aku kasihan melihanya meringkuk sambil terisak di sudut ruangan. Rasanya sudah sangat lama aku tidak melihanya bersikap seperti itu. Sejak dengan laki laki itu, dia berubah. Jadi lebih sayang dengan dirinya, jadi feminim, jadi lembek juga. Kasihan, sepertinya dia kehilangan jati dirinya. Atau memang dia belum pernah menemukannya?

Aku agak kaget saat tiba tiba dia beranjak dari posisi favoritnya di sudut ruangan itu. Dengan agak kasar dia buka pintu lemari, lalu mengambil dengan asal beberapa kaos dan jeans berwarna gelap. Apa dia mau pergi lagi? Bukannya dia sudah lama menghentikan aksi nekatnya itu? Lagipula, minggu ini dia ujian kan? Besok masih hari terakhir.

Aku agak lega saat pelan pelan dia menutup ransel hitamnya, lalu beringsut ke ranjang. Kembali dengan posisi yang sama. Meringkuk rapat seperti bayi yang kedinginan. Semoga dia masih memiliki sedikit akal sehat untuk nggak kabur lagi malam ini. Setidaknya sampai ujiannya selesai besok. Setelah itu, dia merdeka. Tidak, sampai saat ini dia merdeka. Bukankah kemerdekaan itu sepenuhnya miliknya? Tapi,kemerdekaan itu memang ada batasnya...

Siang hari, di teras depan kelasnya. Matanya masih merah, walaupun sedikit tersamar dengan contact lens-nya yang berwarna ungu gelap. Aku nggak tahu dia mau kemana. Mungkin melampiaskan sakit hatinya. Semoga dia nggak melakukan hal gila lagi.

“Hai, dah lama?” tiba tiba seseorang menyapanya. Sahabatnya. Aku sudah hafal, ini partner in crime-nya sejak masuk di kampus oranye. Tapi, dilihat dari gayanya, sepertinya perempuanku hanya akan pergi sendiri. Semoga dia baik baik saja.
“Anterin aku ke terminal ya. Aku mau cabut.” Sepertinya dia masih desperate. Suaranya berat, penuh nuansa sakit hati. Aku jadi kasihan...

Sepanjang perjalanan, perempuanku nggak banyak bicara. Matanya juga diam. lebih sering menerawang. Kadang airmatanya menggenang. Aku jadi kasihan. Sayang, aku nggak pernah bisa ada buat dia.
Dari SMSnya, aku tahu kali ini dia pergi dengan tujuan. Ada seseorang yang menunggunya disana, yang semoga bisa mengobati sakit hatinya.
***

Perjalanan kali ini terasa jauh lebih panjang dari perjalanan yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan hujan, pengamen, serta pengasong yang berisik di sekelilingnya, perempuanku jadi makin beku. Seperti jantung bulan yang melepuh di atas batu.
“Hei...” seseorang yang sudah menunggu disana menyapanya. Perjalanan panjang dengan bus, lyn, berjalan kaki nampaknya melelahkan untuknya. Namun senyum di wajah seseorang yang sudah sangat ia kenal itu memompa kembali semangatnya. Dan senyum yang sejak kemarin hilang itu terbit kembali di wajahnya.
Masih diam. dari sini, sepanjang perjalanan pun dia masih diam. Hawa dingin yang menyapa diacuhkannya. Rupanya dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku kasihan padanya.

“Istirahat dulu aja... kan capek abis perjalanan jauh...” kata temannya. Entah apa itu basa basi. Rei hanya terdiam di dalam kamar berukuran 3x4 itu.
Kamar itu tidak kosong. Ada sebuah lemari berisi baju baju Zai, meja belajar yang penuh dengan buku, dan sebuah kasur kapuk telanjang. Ini kamarnya untuk akhir minggu ini.
“Thanks Mo...” katanya pelan.
Sebenarnya aku cukup senang melihat senyumnya sore itu. Wajahnya terlihat lebih cerah, walaupun aku yakin hatinya masih terasa sakit. Rupanya siapapun yang dipanggilnya ‘Mo’ tadi itu mampu menerbitkan senyum di hatinya.

Mungkin suasana yang cukup ramai dibawah, atau memang karena lelah, dia masih bertahan di kamar ini. Membongkar tasnya, mengeluarkan gadget dan sebotol susu coklat yang menjadi minuman favoritnya. Mungkin hanya untuk menyibukkan diri saja. Tak apalah, daripada dia diam dan menangis lagi. Sebentar kemudian dia berbaring diatas ranjang telanjang itu.

“Bobok ka Rei?” tiba tiba seseorang menyapanya dari luar kamar. Imo.
“Nggak. Ada apa Mo?” dia menjawab tanpa semangat. Matanya masih menerawangi langit langit ruangan.
“Gak papa. Cangkruk dibawah aja. Udah sepi kok. Cuma ada aku sama Zai...”
“Oke...”

Kali ini dia nampak lebih bersemangat. Entah kenapa. Mungkin ini suasana yang selama ini dirinduinya. Suasana yang tidak memabukkan. Suasana yang tidak membodohinya. Tidak, dia memang tidak bodoh. Dan walaupun malam itu waktu terasa berjalan sangat lama, mereka masih setia menyusurinya. Dengan sebungkus black cappucinno dan hamburan kata kata dari mulut ketiganya. Namun sepertinya masalah tidak bisa membiarkannya sendiri berlama lama.

Tulit...tulit...tulit...
Seseorang meneleponnya. Dia sudah tahu siapa. Pacarnya. Laki laki kecil yang masih SMA itu...

“Halo yaank...” dengan gaya sok mesra dia menyapa siapapun yang ada di ujung sana. Tapi, seperti biasa, yang disapa nggak pernah bisa bersikap baik padanya. Heran, apa sih yang perempuanku lihat dari dia? Bukankah perempuan ada untuk disayang dan dimengerti, bukannya dijahat jahati seperti itu? Aku marah melihat mata perempuanku kembali berkaca kaca. Mungkin kalau teman temannya tahu, mereka juga akan melakukan hal yang sama. Tapi perempuanku terlalu pintar untuk nggak berbuat ceroboh seperti itu. Dia memiringkan badannya, memunggungi teman temannya, dan mempertahankan gaya bicaranya yang dibuat buat mesra. Aku tahu hatinya masih sangat sakit. Teman temannya hanya memandangnya dalam diam. aku tahu mereka tahu apa yang terjadi. Namun mereka masih menahan diri untuk nggak berkomentar. Biarkan saja perempuanku sendiri untuk sementara. Aku tahu dia akan baik baik saja.

“Mau ngamuk ngamuk, saiki sayang sayangan yooo...1” temannya, Zai, akhirnya nggak tahan untuk nggak berkomentar. Perempuanku hanya tersenyum tipis. Sementara teman satunya, Imo, hanya menerawanginya dengan tatapan kasihan.
Perempuanku tak perlu dikasihani seperti itu.
“Wajar kok Rei, seseorang punya beberapa topeng dalam hidupnya. Aku juga gitu kok. Didepan bapakku, aku anak baik. Didepan ibuku, aku bandel. Diluar, aku rusak. Lebih baik gitu kan, daripada mereka tahu yang asli, terus sakit gara gara mikirin aku... kamu juga gitu. Aku yakin didepan orang tuamu kamu anak terbaik di dunia. Didepan pacarmu, kamu cewek yang paling pengertian, sementara disini, aku nggak tahu apa kamu cukup berani untuk membuka topengmu. Gak papa kok Rei...” sontak air mata menggenang lagi di pelupuk perempuanku. Untung dia cukup lihai menyembunyikannya.

Sudah bertahun tahun dia melakukannya. Menyembunyikan air mata, dan menyimpan lukanya. Aku kasihan padanya. Namun aku tahu, suatu saat dia akan jadi yang terbaik. Aku yakin dia mampu.

Kurasa kini saatnya aku menghindar sebentar. Aku ingin perempuanku bebas dengan dirinya sendiri. Aku nggak mau terus terusan membayanginya seperti kabut yang tersangkut di pucuk dahan.

Aku tidak tahu jelas apa yang dilakukannya semalaman. Kaki-tangannya terasa dingin sekali saat aku menyentuhnya dini hari. Jaket yang dipakainya terbalik untuk menutupi badannya rasanya tidak sanggup menghangatkan tubuh mungilnya. Sementara celana pendek dibalut selimut tebal yang terbelit begitu saja di kakinya juga tak mampu menghilangkan dingin di pahanya. Tapi, perempuanku tidur nyenyak sekali. Sepertinya dia senang malam tadi. Aku lega.
***

Sebelum subuh, dini hari. Ponsel temannya yang sedang di charge di ruang tamu berbunyi nyaring sekali. Seperti suara sirine mobil pemadam kebakaran. Berkali kali, sampai mengusik ketentraman perempuanku. Aku tahu perempuanku mendengarnya, tapi matanya masih terasa terlalu berat untuk membuka. Apalagi hanya untuk mengecek dan mematikan ponsel orang lain. Rasanya tidur sebentar lagi adalah ide yang baik. Tapi ponsel itu tak mau diam. dan, sempurnalah. Bangunlah orang seluruh rumah. Walaupun hanya mengulat sebentar, lalu terlelap lagi.

“Rei, makan yuk? Cari gorengan...” akhirnya, mereka kembali saling bicara setelah sesaat mengumpulkan nyawa.
“Ayo...” Rei sudah kembali seperti sedia kala.
“Yuk.” Lalu berangkat lah mereka ber empat ke tempat nongkrong favorit di pagi hari. Warung gorengan. Dengan segelas kopi terhidang didepan masing masing mereka, hari ini berlari.

Lalu lalang orang yang berangkat kerja, berangkat kuliah, berangkat sekolah, supir angkot, pejalan kaki, tak mengganggu kenikmatan mereka mencangkung di pinggir jalan pagi itu. Beberapa anak kecil yang memandang aneh pada Rei-ku yang polos seorang diri di antara para laki laki bertampang sangar tak begitu mengganggunya. Bukankah begitu manusia? Terlalu membeda bedakan. Belum lagi beberapa orang yang agamis dengan sadis memandang kaos hitam pinjamannya yang longgar dan celana coklat mudanya yang hanya menutup tak sampai setengah paha. Tampak menggoda. Lalu satu orang pergi. Berangkat kerja. Sementara yang tiga, masih asyik mengobrol dengan teman main futsal mereka semalam. Membicarakan ini itu. Termasuk mengomentari pandangan miring yang ditujukan pada perempuanku. Ah, tak papa. Sudah biasa buat dia dipandang seperti itu.
***

“Rei, tak budhal sik...2” ucap Zai sambil lalu sesaat setelah mandi dan mengganti baju. Sementara Rei masih enggan tersentuh air, dan Imo masih cinta dengan suara televisi dan atribut tidurnya.
“Iya. Jangan lama lama.” Rei juga menjawab seadanya. Lalu Zai berlalu di muka pintu.
Dingin. Dingin. Masih dingin. Sementara televisi yang menyala seadanya terkekeh pelan. Ah, kartun anak anak. Akhirnya Rei memutuskan untuk mandi. Badannya pasti sudah terasa sangat lengket. Terakhir dia mandi kemarin pagi. lalu, dalam diam, seolah tak ingin mengganggu ketentraman Imo yang terlelap, Rei melangkah ke kamar atas. Mengambil handuk, alat mandi, baju ganti. Semoga air dingin bisa menyegarkan pikirannya.

“Rei...” temannya yang tadi terlelap bergumam pelan. Rupanya dia terganggu dengan suara berisik di kamar mandi, karena Rei sedang bersemangat hari ini.
“Ya?”
“Mandi ka Rei? Airnya dingin banget lho...” temannya berusaha mengingatkan. Harusnya, peringatannya jangan diacuhkan.
“Nggak kok Mo, seger...” perempuanku, seperti biasa, terlalu bersemangat untuk bisa dicegah. Tapi, dingin juga terlalu kuat untuk begitu saja dihalau oleh semangat yang membara. Keluar dari kamar mandi, badan perempuanku terasa dingin sekali. Tak ada pilihan lain, dia meringkuk di kasur depan televisi. Lalu dengan cepat menarik bed cover untuk menghalau dingin badannya. Imo tertawa pelan.
“Dingin kan? Makanya jangan mandi...”
“Tapi aku gak mandi dari kemaren Mo...” Rei berusaha memberi alasan. “Iya kamu, abis futsal mandi. Kalo aku nggak mandi juga sampe nanti sore, bauku bisa kaya kambing Mo.” Rei masih sibuk menghilangkan dingin di badannya.
Imo diam.
Rei diam.
lama.

“Tanganmu anget gak Mo?” akhirnya Rei buka suara. Dingin itu lama lama mencekat tenggorokannya. Imo masih diam. hanya menyodorkan tangannya yang hangat untuk Rei genggam. Lebih baik. Rasa hangat itu menjalar sampai ke jantungnya.
“Masih mau aku peluk Rei?” Imo akhirnya buka suara. Rei tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Sementara aku hanya mampu mengawasi dari kejauhan. Pelukan itu, mungkin pelukan terhangat buat perempuanku. Badannya hangat, jantungnya hangat, hatinya hangat...
***

“Mo, aku pulang.” Akhirnya perempuanku angkat bicara.
“Rei...”
“Gak papa, makasih ya buat semuanya. Kapan kapan kita ketemu lagi.” Lalu perempuanku menghilang di ujung jalan dengan seulas tipis senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar