Minggu, 09 Januari 2011

cinta kopi susu


Pagi itu, seorang guru nampak sibuk sekali di ruangannya. Beberapa lembar kertas gambar berwarna hitam dan putih menumpuk di sudut meja. Sementara beberapa batang crayon warna hitam dan putih berserak di sisi satunya. Tangannya cekatan sekali merangkum semua kertas dan krayon itu dalam kantong kertas coklatnya yang sudah usang. Sementara matanya melirik jam yang tergantung di atas pintu. Jam 8 kurang 5 menit. 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Dia harus bersegera.

Bu guru berjalan cepat sepanjang lorong yang hangat oleh sinar matahari pagi. kulit kecoklatannya nampak cerah, kontras dengan kemeja krem dan rok coklat muda yang dikenakannya. Rambutnya yang ikal diikat tinggi di kepala, nampak bergoyang seiring dengan langkahnya.
“good morning miss...” sapa beberapa orang siswa yang masih bergerombol di luar kelas. Sementara beberapa siswa lainnya hanya melirik tajam melalui ujung matanya yang segaris. Beberapa lainnya menerawangi bu guru dalam diam.

Hup, tepat waktu. Semua murid sudah duduk di tempatnya masing masing dengan tertib, menunggu miss Feya datang memberikan pelajaran.
“Good morning class,” sapa miss Feya ramah, sambil menyapukan pandangannya ke seluruh kelas. Beberapa anak antusias menjawab sapanya, beberapa lainnya hanya menopangkan dagu, seperti ogah-ogahan mengikuti kelasnya.

“Saya memiliki kertas hitam dan putih disini...” kata miss Feya sambil mengeluarkan kertas gambarnya. “Masing masing kalian akan mendapat satu.” Kertasnya mulai diedarkan ke seluruh siswa. “Saya juga memiliki krayon dengan jumlah yang sama dengan kertas yang sudah kalian pegang masing masing.” Miss Feya menatap seluruh isi kelas yang keheranan. “Hari ini kita akan menggambar. Kalian boleh menggambar apa saja. Apa saja yang kalian suka. Saya beri waktu hingga pelajaran berakhir.” Miss Feya mulai membagikan krayon yang dibawanya. Krayon putih untuk siswa yang memegang kertas gambar putih, dan krayon hitam untuk siswa yang memegang kertas gambar hitam.
“Silahkan mulai menggambar. 15 menit sebelum jam pelajaran saya berakhir, saya kembali. Saya harap semua sudah menyelesaikan gambarannya masing masing.” Ucap Miss Feya tanpa menghiraukan tatapan heran dari murid muridnya.

Sementara para murid kebingungan dengan tugasnya, miss Feya melangkah pelan menuju ruangannya. Jemarinya yang dingin menggenggam cincin polos pemberian pacarnya kemarin malam. Mau gak mau matanya berkaca kaca menerawangi cincin yang melingkar manis di jarinya. Pacarnya, yang kulitnya putih dan matanya sipit, kemarin datang melamarnya. Dia bilang, dia gak peduli dengan kata mama dan papanya yang mengancam mau membuangnya dari daftar ahli waris kalau dia masih berani berhubungan dengan Feya. Sementara Feya sendiri ndak pernah mendapat restu orang tuanya yang masih keturunan ningrat untuk menikah dengan pria yang bukan sesama darah biru seperti dirinya. Feya ndak tau harus bagaimana. Hampir dua jam berlalu dalam keheningan, tapi belum ditemuinya juga jawaban yang selama ini dicarinya.

Kelas terdengar gaduh saat Miss Feya melangkah masuk. Beberapa asik bercengkrama sambil saling memamerkan karya, sementara yang lainnya sibuk dengan kertas gambar dan krayon pinjaman dari temannya.
“Ini bu, sudah jadi.” Kata sang ketua kelas. “Bagus kan? Kami saling bertukar krayon supaya bisa bekerja...” kata sang ketua kelas bangga, sambil memamerkan hasil karyanya. Seorang anak laki laki kecil yang digambar di kertas hitam dengan krayon putih, disambung dengan gambar seorang anak perempuan kecil dengan kelabang dua digambar di atas kertas putih dengan krayon hitam. “ini namanya unity. Di dunia anak anak, nggak ada yang berbeda. Semua teman, semua sama...”

Sore itu, Miss Feya yang Jawa membelah jalanan yang basah sehabis gerimis di atas boncengan motor pacarnya yang Cina. Nggak pernah ada yang tahu mereka kemana. Yang jelas, Miss Feya dan pacarnya sudah menemukan kembali jalan mereka.

1 komentar: